Demo di Kawasan Industri Ancam Investasi di RI, Investor Bisa Kabur

- Investor asing mempertimbangkan relokasi produksi ke negara pesaing karena kerugian yang ditimbulkan oleh unjuk rasa di Indonesia.
- Pemerintah didesak untuk mengambil langkah tegas dalam menjaga stabilitas kawasan industri dan sistem mediasi hubungan industrial yang adil.
- Aksi unjuk rasa bermula dari pemutusan hubungan kerja terhadap dua pengurus serikat pekerja di PT Yamaha Music, menimbulkan polemik berkepanjangan.
Jakarta, IDN Times - Selebaran rencana aksi lanjutan oleh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) beredar di kawasan PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat. Kondisi tersebut lantas menimbulkan kekhawatiran di kalangan dunia usaha.
Aksi unjuk rasa yang berulang dinilai dapat merusak citra Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang stabil dan kompetitif. Pakar investasi dan hubungan internasional, Zenzia Sianica Ihza menilai, aksi unjuk rasa yang terus-menerus di kawasan industri strategis seperti kawasan industri MM2100 merupakan ancaman serius bagi daya saing nasional.
Menurutnya, kawasan industri merupakan salah satu objek vital nasional yang seharusnya steril dari aksi massa karena berkaitan langsung dengan operasional perusahaan yang terhubung dengan rantai pasok global.
"MM2100 adalah kawasan industri strategis yang seharusnya bebas dari gangguan aksi demonstrasi. Jika kawasan ini terus dijadikan lokasi demo, investor akan ragu menanamkan modal di Indonesia," ujar Zenzia dalam keterangan resminya, Jumat (20/6/2025).
1. Investor asing mulai mempertimbangkan relokasi fasilitas produksi

Catatan menunjukkan, PT YMMA telah mengalami kerugian lebih dari Rp53 miliar akibat terhentinya produksi selama enam hari kerja dalam tiga gelombang unjuk rasa sebelumnya.
Kerugian ini mencakup hilangnya output produksi, keterlambatan ekspor ke berbagai negara, serta potensi hilangnya kepercayaan dari mitra dagang di Jepang dan Eropa. Situasi ini telah menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha.
Beberapa investor asing dilaporkan mulai mempertimbangkan relokasi fasilitas produksi mereka dari Indonesia ke negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand yang dinilai lebih stabil secara politik dan hukum.
“Kerugian ini bukan sekadar soal angka. Dampak yang lebih besar adalah penurunan persepsi global terhadap Indonesia sebagai basis manufaktur,” kata Zenzia.
2. Pemerintah didesak ambil langkah tegas

Zenzia pun mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah tegas guna menjaga stabilitas kawasan industri. Dia menyarankan diberlakukannya regulasi yang melarang aktivitas demonstrasi di kawasan objek vital nasional, serta memperkuat sistem mediasi hubungan industrial yang adil dan transparan.
“Pemerintah, khususnya Presiden Prabowo dan Menteri Ketenagakerjaan, harus menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap kepentingan nasional yang lebih luas. Perlindungan hak pekerja memang penting, namun tidak boleh mengorbankan kepastian hukum dan iklim investasi,” ujarnya.
Dia juga meminta pihak kepolisian untuk lebih proaktif, tidak hanya bersikap pasif sebagai pengaman, tetapi mengambil langkah-langkah preventif agar aksi demo tidak terus berulang di lokasi strategis yang sama.
"Ini menyangkut stabilitas nasional. Polisi hadir sebagai kekuatan pencegah," ucap Zenzia.
Secara hukum, dasar pelaksanaan aksi unjuk rasa diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun, undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa ada beberapa tempat yang dilarang menjadi lokasi penyampaian pendapat di muka umum, yaitu lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, bandara, pelabuhan, stasiun, terminal angkutan darat, serta objek vital nasional. Aksi unjuk rasa juga tidak boleh dilakukan pada hari besar nasional.
3. Latar belakang aksi unjuk rasa di Yamaha Music

Sebagai informasi, aksi unjuk rasa ini bermula dari pemutusan hubungan kerja terhadap dua pengurus serikat pekerja di lingkungan PT Yamaha Music. Pihak serikat menilai tindakan tersebut sebagai bentuk union busting atau upaya sistematis untuk melemahkan kekuatan serikat pekerja.
Tuduhan itu langsung memicu gelombang aksi solidaritas yang dilakukan berulang kali di depan pabrik. Namun, manajemen PT YMMA membantah tuduhan tersebut. Dalam pernyataan resminya, pihak perusahaan menyatakan bahwa PHK dilakukan berdasarkan pelanggaran terhadap disiplin kerja dan telah melalui prosedur hukum yang berlaku.
Manajemen juga menegaskan bahwa mereka menghormati keberadaan serikat pekerja dan tetap membuka ruang dialog yang konstruktif.
"PHK ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan bukan sebagai bentuk tindakan union busting," kata Kuasa Hukum PT YMMA, La Ode Haris.
Menurut La Ode Haris, PHK tersebut telah sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) perusahaan, yang memperbolehkan pemecatan jika karyawan melakukan tindak pidana. Saat ini, sengketa PT YMMA dan dua karyawan yang di PHK itu masuk dalam proses penyelesaian secara hukum dan 11 Juni 2025 lalu sudah didaftarkan di Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).
Meski demikian, konflik ini terus berlanjut dan telah berkembang menjadi polemik
berkepanjangan yang mengganggu stabilitas industri, sehingga membutuhkan perhatian langsung dari pemerintah pusat dan aparat penegak hukum.