Saatnya Berhenti Menganggap Film Chick Flick sebagai Aib

Buat sebagian dari kita, label chick flick mungkin bukan sesuatu yang terdengar aneh atau bermasalah. Ia hanya istilah biasa yang merujuk pada film-film yang menarget penonton perempuan. Kebanyakan bergenre romcom dan drama percintaan.
Namun, sadar atau tidak, label itu lekat dengan stigma-stigma tertentu, seperti tidak serius dan kualitasnya tidak begitu bagus. Tak heran, ada pula yang mengeklaim nonton film chick flick itu seperti sebuah guilty pleasure alias kesenangan yang sepatutnya dirahasiakan layaknya aib.
Apakah benar film chick flick seburuk citra yang beredar? Jangan-jangan ini hanya permainan pasar dan tradisi seksisme belaka?
1. Label chick flick menyingkap tradisi masyarakat meremehkan selera perempuan

Stigma yang melekat pada film chick flick sebenarnya cukup umum ditemukan pada produk-produk yang didesain untuk perempuan. Tak hanya film, musik dan buku yang ditujukan untuk pendengar perempuan macam pop dan novel romantis saja lekat dengan stigma tertentu macam tak serius, ringan, dan mudah dimegerti. Kesannya kontras dengan produk yang menarget konsumen pria seperti musik rock/rap dan buku nonfiksi, yakni serius, bermakna dalam, dan keren.
Bahkan ada beberapa produk elektronik tertentu, terutama ponsel yang dianggap lebih ramah atau disukai pengguna perempuan. Misal yang punya fitur kamera mumpuni, seolah berasumsi kalau pengguna perempuan memprioritaskan produk itu untuk mengambil foto belaka. Kecenderungan ini bisa dilihat sebagai tradisi masyarakat meremehkan selera perempuan. Ada kecenderungan menganggap gender tertentu tak lebih cerdas dan selektif dalam memilih produk untuk dikonsumsi.
2. Benarkah kualitas chick flick seburuk klaim yang beredar?

Seperti film-film pada umumnya, sinema chick flick sarat ketidaksempurnaan. Beberapa kritik yang sering dilayangkan pada film-film itu antara lain ceritanya klise, kelewat optimistik, dan tidak mendukung keberagaman (kerap menggunakan perspektif perempuan kulit putih). Namun, kalau kita mau ulik lebih dalam, tidak hanya chick flick yang punya kelemahan-kelemahan itu.
Film-film superhero dan aksi yang biasa menyasar audiens pria pun sering terjebak menggunakan premis-premis Barat-sentris dan mengglorifikasi kekerasan. Sebut saja American Sniper (2014), Fury (2014), dan lain sebagainya. Ceritanya juga gak sedikit yang klise alias tertebak. Artinya chick flick jauh lebih rentan dikritisi dan film-film lain di luar label itu dapat perlakuan berbeda.
Padahal, tidak semua film berlabel chick flick berkualitas buruk. Film-film chick flick terlepas dari kekurangannya sebenarnya adalah saluran untuk menyuarakan keresahan dan kepentingan perempuan. Freaky Friday dan Mamma Mia misalnya membahas dinamika relasi ibu dan anak perempuannya, Mean Girls dan Muriel’s Wedding mengkritisi tekanan sosial yang menghantui perempuan muda, dan Legally Blonde membuktikan kalau mendobrak stereotip itu tidak mustahil.
Ia juga bisa dilihat sebagai bukti kuatnya pasar produk untuk perempuan. Terbukti, popularitas film chick flick tidak terhapus zaman. Film-film seperti When Harry Met Sally, Notting Hill, Legally Blonde, Clueless, 13 Going 30, dan Easy A sampai sekarang masih dibicarakan, bahkan diklaim sebagai fenomena budaya yang signifikan pengaruhnya.
3. Saatnya mengapresiasi film chick flick, termasuk yang dibikin perempuan

Fakta menarik lain dari pasar chick flick adalah keterlibatan sineas pria dalam proses pembuatannya, terutama pada era 1990-an sampai awal 2000-an. Beberapa judul film chick flick yang menguasai pasar seperti My Best Friend’s Wedding, How to Lose a Guy in 10 Days, Uptown Girls, She’s All That, Four Weddings and a Funeral, You’ve Got Mail, Notting Hill, dan lain sebagainya digarap sutradara pria. Sebagai tolok ukur baru, jangan lupa buat mengulik judul-judul film chick flick yang dibuat sutradara perempuan.
Komentar sosial dan representasi karakter perempuan di film-filmbikinan perempuan gak kalah lebih nampol dan akurat. Clueless (1995) karya Amy Heckerling adalah salah satu bukti film chick flick dengan naskah cerdas dan kompleksitas cerita yang tidak bisa dianggap remeh. Saking unik dan inovatifnya, tak banyak yang sadar kalau Heckerling mengadaptasinya dari novel klasik Emma karya Jane Austen.
Coba juga The Waitress (2007) karya Adrienne Shelly. Meski diisi adegan-adegan klise ala film romcom generik, ia menawarkan pesan pemberdayaan yang beda dan segar. Yakni, afirmasi untuk mendorong perempuan berani keluar dari hubungan toksik dan memutus trauma antargenerasi. Pada era 2000-an ketika film itu dirilis, isu-isu macam itu masih cukup tabu dibicarakan. Judul-judul lain seperti But I'm a Cheerleader (Jamie Babbit), Mamma Mia (Phyllida Lloyd), Austenland (Jerusha Hess), dan Party Girl (Daisy von Scherler Mayer) juga layak menyita waktumu.
Jadi, masih berani menganggap chick flick sebagai film remeh dengan kualitas di bawah rata-rata? Coba renungkan lagi, deh. Bukti-bukti di atas harusnya bisa jadi afirmasi buatmu untuk tak lagi malu memasukkan film-film chick flick dalam daftar sinema terbaik yang pernah kamu tonton.