Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Meeting yang Diam-diam Menguras Energi Emosional Tim

illustrasi meeting (pexels.com/Kindel Media)
illustrasi meeting (pexels.com/Kindel Media)
Intinya sih...
  • Meeting terlalu panjang dan bertele-teleMeeting yang berlangsung terlalu lama membuat peserta kehilangan fokus dan merasa bosan, menguras energi emosional tim.
  • Tidak ada agenda yang jelasMeeting tanpa agenda membuat diskusi kacau, menimbulkan rasa lelah dan kecewa karena kurangnya kepastian.
  • Dominasi suara dari satu atau dua orangKetika meeting dikuasai oleh sedikit orang, anggota lain merasa tidak dihargai, mengurangi semangat kolaborasi tim.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Meeting sering kali dianggap sebagai ruang untuk menyatukan ide, menyelesaikan masalah, atau menyusun strategi ke depan. Namun, tanpa disadari, ada kebiasaan tertentu dalam meeting yang justru membuat anggota tim kehilangan banyak energi emosional. Alih-alih produktif, meeting malah terasa berat, menegangkan, bahkan meninggalkan rasa lelah berkepanjangan.

Energi emosional yang terkuras dalam sebuah meeting bukan hanya soal durasi yang terlalu lama. Lebih dari itu, ada aspek psikologis yang ikut terpengaruh, seperti rasa tidak dihargai, beban mental berlebih, atau suasana yang terlalu formal. Jika hal ini terus terjadi, dampaknya bisa serius terhadap motivasi kerja dan kualitas kolaborasi tim secara keseluruhan.

1. Meeting terlalu panjang dan bertele-tele

illustrasi meeting (pexels.com/fauxels)
illustrasi meeting (pexels.com/fauxels)

Meeting yang berlangsung terlalu lama sering kali membuat peserta kehilangan fokus. Alih-alih menyelesaikan masalah, waktu justru habis untuk hal-hal yang kurang relevan. Kondisi ini tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga membuat emosi terkuras karena harus menahan rasa bosan dan jenuh. Terlebih lagi, ketika topik pembahasan melebar ke arah yang tidak jelas, anggota tim merasa waktunya terbuang sia-sia.

Selain itu, meeting yang bertele-tele biasanya membuat ide penting tenggelam di antara obrolan yang tidak perlu. Peserta yang seharusnya bisa berkontribusi maksimal justru enggan menyampaikan pendapatnya. Situasi ini dapat menimbulkan frustrasi karena suasana meeting berubah dari produktif menjadi sekadar rutinitas. Akhirnya, beban emosional meningkat dan tim keluar dari ruangan tanpa solusi yang jelas.

2. Tidak ada agenda yang jelas

ilustrasi meeting (freepik.com/ rawpixel.com)
ilustrasi meeting (freepik.com/ rawpixel.com)

Meeting tanpa agenda ibarat berlayar tanpa arah. Peserta masuk ke ruang rapat tanpa tahu apa yang ingin dicapai, sehingga diskusi berjalan kacau. Ketidakjelasan tujuan membuat orang sulit mempersiapkan diri, dan akibatnya banyak energi terbuang hanya untuk menyesuaikan jalannya percakapan. Rasa lelah pun muncul karena setiap orang harus menebak-nebak arah pembahasan.

Tanpa agenda yang terstruktur, meeting juga sering berakhir tanpa keputusan penting. Tim merasa tidak mendapat kepastian, dan hal ini memengaruhi kondisi emosional mereka. Ada rasa kecewa karena sudah menghabiskan waktu lama, tetapi hasilnya minim. Energi emosional yang seharusnya digunakan untuk bekerja produktif malah habis untuk menanggung ketidakpastian.

3. Dominasi suara dari satu atau dua orang

ilustrasi meeting (freepik.com/pressfoto)
ilustrasi meeting (freepik.com/pressfoto)

Salah satu kebiasaan yang paling menguras energi emosional adalah ketika meeting hanya dikuasai oleh satu atau dua orang. Situasi seperti ini membuat anggota lain merasa terpinggirkan. Padahal, setiap orang memiliki pandangan berharga yang bisa mendukung pengambilan keputusan. Ketika suara mereka tidak terdengar, muncullah perasaan kurang dihargai.

Kondisi ini juga menimbulkan suasana yang kaku dan tidak inklusif. Tim yang seharusnya bisa bekerja sama malah terjebak dalam dinamika sepihak. Akibatnya, semangat kolaborasi melemah karena orang merasa kontribusinya tidak berarti. Energi emosional terkuras bukan karena isi diskusi, melainkan karena rasa ketidakadilan yang dirasakan selama meeting.

4. Kritik yang disampaikan dengan nada tidak membangun

illustrasi diskusi kerja (pexels.com/Tiger Lily)
illustrasi diskusi kerja (pexels.com/Tiger Lily)

Kritik memang diperlukan dalam setiap diskusi, tetapi cara penyampaiannya sangat menentukan suasana meeting. Kritik yang dilontarkan dengan nada tajam atau merendahkan dapat melukai perasaan anggota tim. Alih-alih mendorong perbaikan, hal ini justru memicu defensif dan rasa tidak nyaman. Energi emosional pun terkuras karena peserta lebih sibuk menahan diri daripada fokus mencari solusi.

Suasana meeting yang penuh dengan kritik negatif juga menimbulkan kecemasan tersendiri. Peserta merasa takut salah bicara atau khawatir idenya akan dipatahkan. Hal ini membuat kreativitas terhambat dan diskusi kehilangan arah positif. Pada akhirnya, meeting berubah menjadi ruang yang menekan mental, bukan ruang untuk kolaborasi yang sehat.

5. Terlalu sering mengadakan meeting tanpa alasan kuat

ilustrasi meeting (unsplash.com/Work With Island)
ilustrasi meeting (unsplash.com/Work With Island)

Meeting yang terlalu sering dilakukan tanpa alasan yang jelas justru menjadi beban. Setiap kali undangan rapat datang, anggota tim harus mengatur ulang jadwal pekerjaan mereka. Ketika frekuensi meeting terlalu tinggi, pekerjaan utama sering tertunda dan tekanan mental semakin terasa. Akibatnya, meeting tidak lagi dianggap penting, melainkan sebuah kewajiban yang melelahkan.

Selain itu, meeting yang tidak memiliki urgensi hanya akan menambah rasa frustrasi. Tim merasa waktunya dihabiskan untuk hal yang sebenarnya bisa diselesaikan lewat komunikasi singkat. Energi emosional mereka terkuras karena harus menghadapi rutinitas rapat yang monoton. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan motivasi kerja secara signifikan.

Meeting memang penting, tetapi jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang, justru bisa menguras energi emosional tim. Setiap kebiasaan negatif dalam meeting sebaiknya diidentifikasi sejak dini agar tidak menimbulkan dampak lebih besar.

Dengan memperhatikan durasi, agenda, cara berkomunikasi, dan frekuensi rapat, suasana meeting bisa jauh lebih sehat. Tim pun akan merasa dihargai, bersemangat, dan mampu memberikan kontribusi maksimal. Pada akhirnya, meeting yang efektif bukan sekadar formalitas, melainkan ruang produktif yang memperkuat kerja sama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us