5 Sisi Negatif Anak Gak Dikasih Uang Saku, Kapan Belajar Atur Uang?

- Belajar mengelola keuangan dari dini
- Canggung saat dimintai tolong membelikan sesuatu
- Mendam kesal pada orangtua dan iri ke teman
Sekarang banyak orangtua membuatkan bekal makanan dan minuman untuk dibawa anak ke sekolah. Bahkan orangtua yang sibuk pun tetap menyiapkan bekal meski beli di warung sekitar rumah atau memakai jasa katering. Tujuannya baik sekali, yaitu supaya apa yang dikonsumsi anak lebih terjaga keseimbangan gizinya serta higienis.
Sebab bila anak jajan terus sering kali tidak memperhatikan kedua hal tersebut. Ia cuma membeli jajanan yang menurutnya enak atau ikut-ikutan teman. Nanti pulang-pulang anak mengeluh sakit perut atau batuk. Akan tetapi, apakah dengan kamu sudah menyiapkan bekal makanan dan minuman berarti anak tak perlu lagi diberi uang saku?
Soal ini perlu dipikirkan masak-masak. Kamu dan pasangan hendaknya tidak hanya mendasarkan keputusan pada anggapan bahwa anak pasti sudah kenyang makan bekal. Masa ia mau jajan lagi? Buat anak boleh jadi terkait uang saku tak sesimpel itu. Ini dampak buruknya jika anak sama sekali gak dikasih uang saku.
1. Telat belajar mengelola keuangan

Sekarang kamu sebagai orang dewasa tahu betul pentingnya belajar mengelola uang. Malah seandainya waktu dapat diputar kembali, dirimu ingin mempelajarinya lebih dini. Supaya saat tiba waktunya kamu bekerja dan punya uang sendiri tidak perlu melakukan kesalahan-kesalahan yang membuat keuanganmu bocor terus selama sekian tahun.
Misalnya, beberapa tahun pertama sejak dirimu bekerja, gaji cuma numpang lewat. Bukan lantaran penghasilanmu sedikit, melainkan dorongan kuat untuk menyenangkan diri dengan hasil kerja kerasmu. Akibatnya, kamu baru mulai menabung dan berinvestasi akhir-akhir ini.
Bahaya serupa dapat terjadi pada anakmu bila dia gak pernah dikasih uang saku selama bersekolah. Anak hanya tahu tentang mata uang dari pelajaran. Namun, ia gak paham tentang cara menggunakannya dengan bijaksana ketika uang benar-benar ada di tangannya.
Tentu pemberian uang jajan saja tidak menjamin anak lebih bijak soal keuangan pada masa dewasanya. Namun, lebih mudah buat orangtua memberikan bimbingan dengan anak praktik langsung memakai uang sakunya.
2. Canggung saat dimintai tolong membelikan sesuatu

Kamu ingin anak yang bisa dimintai tolong sesuatu atau gak? Contoh simpel, bantuan agar ia membeli telur atau sabun di warung. Kalau anak tak pernah punya uang saku, otomatis dia juga tidak pernah beli jajan sendiri. Mungkin kamu membelikannya sekalian belanja mingguan atau bulanan.
Tanpa sadar, ada proses belajar yang terlewati. Yaitu, anak tak terbiasa berinteraksi dengan penjual. Padahal, jarak usia mereka jauh dan kerap kali para pembeli berebut ingin dilayani duluan. Ketika suatu hari dirimu menyuruh anak beli sesuatu di warung, nyalinya seketika ciut.
Walaupun kamu telah memberinya petunjuk cara berbelanja, keberaniannya gak otomatis muncul. Beda dengan apabila di sekolah pun dia sesekali masih beli jajan sendiri. Tanpa orangtua minta tolong, anak dapat menawarkan diri untuk pergi ke warung.
3. Malah meminta uang saku atau jajanan teman

Orangtua pasti punya tujuan yang baik saat memutuskan gak kasih uang saku ke anak. Selain biar makanan dan minuman anak terjaga, kamu juga bisa menghemat pengeluaran. Namun, harapan-harapan positif itu belum tentu berjalan mulus di lapangan.
Ada bahaya yang kurang diantisipasi olehmu. Misalnya, di sekolah anak tidak tahan ingin jajan seperti teman-temannya. Tanpa sepeser pun uang di saku, terpaksa dia memintanya dari kawan. Saat keinginan jajan tidak terbendung, anakmu pun dapat memaksa murid lain menyerahkan sebagian uangnya.
Hanya lantaran keinginan jajan, anakmu bisa dikenal sebagai tukang palak dan dilaporkan ke guru. Dapat pula anakmu tak meminta uang, melainkan jajanan yang dibeli temannya. Apa pun bentuk permintaannya, itu amat mengganggu kawan-kawannya. Anak juga bisa terbentuk menjadi licik. Dia ingin mendapatkan sesuatu tanpa keluar modal.
4. Di situasi darurat anak tidak bisa membayar

Dirimu serta pasangan juga pernah bersekolah. Dari SD sampai SMA pasti kalian sering tiba-tiba diminta iuran. Bukan oleh pihak sekolah melainkan kesepakatan teman-teman. Misalnya, pulang sekolah nanti anak dan kawan-kawannya hendak langsung menjenguk teman yang sakit di rumahnya.
Biar mereka gak datang dengan tangan kosong, perlu iuran sekadar buat beli roti. Meski iurannya tak seberapa, tetap saja anakmu gak bawa uang sedikit pun. Sementara uang saku kawan-kawannya barangkali tidak cukup buat dipinjamkan.
Iuran serupa dapat pula terkait pembelian perlengkapan tugas kelompok. Kasihan anakmu jika menjadi satu-satunya siswa yang tidak bisa seketika bayar iuran. Nanti dia bingung mesti melakukan apa, malu, bahkan diolok-olok. Orangtua yang bikin kebijakan gak ada uang saku, tetapi anak yang menjadi korban.
5. Memendam kesal pada orangtua dan iri ke teman

Hanya karena anak tidak pernah secara langsung memprotes keputusanmu yang tak memberinya uang saku, bukan artinya ia senang-senang saja. Anak yang terlihat penurut sekalipun dapat memendam kekesalan pada orangtua. Dia heran kenapa sampai tak diberi uang saku?
Padahal, kawan-kawannya yang bawa bekal pun tetap dikasih uang meski tidak sebesar mereka yang sepenuhnya jajan di kantin. Pertanyaan seperti ini membuatnya gelisah. Anak bisa merasa dirimu terlalu keras padanya. Bahkan kamu dinilai pilih kasih seandainya kakaknya yang jauh lebih besar diberi uang saku.
Sekalipun alasanmu membedakan karena kakaknya pulang sore, buat anak perlakuanmu tetap tak adil. Perasaannya padamu, saudara, dan teman-temannya yang punya uang saku menjadi negatif. Akibat lanjutannya, anak yang jengkel lama-lama tampak lebih bandel.
Uang saku memang bukan sesuatu yang wajib. Apalagi kalau orangtua dalam keterbatasan ekonomi. Namun, jika keuanganmu masih cukup longgar, ada baiknya tetap memberi anak uang saku secukupnya saja. Biar anak gak boros, selalu berikan nasihat dan kasih reward apabila ia mampu menyisihkan sebagian uang jajannya untuk ditabung.