Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sisi Gelap Empati yang Jarang Dibahas, Kamu Wajib Tahu!

ilustrasi empati (pexels.com/Marcus Aurelius)
Intinya sih...
  • Empati bisa membuat kamu jadi tidak adil, memprioritaskan seseorang yang punya cerita menyentuh, meski dampaknya merugikan banyak orang lain.
  • Empati bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi dan menyebarkan kebencian, bahkan dalam kampanye politik dan pembenaran atas kekerasan terhadap kelompok tertentu.
  • Berempati secara terus-menerus bisa membuat kamu kewalahan secara mental, rentan mengalami kelelahan emosional dalam jangka panjang.

Selama ini empati dikenal sebagai sesuatu yang positif. Kamu mungkin sering dengar nasihat seperti “Cobalah berempati” atau “Pahami perasaan orang lain dulu sebelum menilai”. Sekilas, saran itu terdengar bijak. Tapi kenyataannya, empati gak selalu membawa dampak baik, lho. Ada sisi gelap dari empati yang justru bisa bikin kamu lelah secara emosional, bersikap gak adil, bahkan mudah dimanipulasi.

Empati sendiri punya definisi yang agak “cair”, tapi secara umum berarti menempatkan diri di posisi orang lain dan merasakan apa yang mereka rasakan. Tapi di balik niat baik itu, ada beberapa jebakan yang sering gak disadari. Yuk, kenali lima sisi gelap empati berikut ini supaya kamu bisa lebih bijak dalam mengelolanya.

1. Bisa membuat kamu jadi tidak adil

ilustrasi pemeriksaan dokter (pexels.com/Muziyan Du)

Empati sering bikin kamu lebih peduli pada satu orang dibanding kelompok yang lebih besar. Fenomena ini disebut identifiable victim effect, yaitu kecenderungan untuk lebih peduli pada individu yang punya cerita menyentuh, ketimbang ribuan orang lain yang nasibnya lebih parah tapi tak dikenali.

Menurut Paul Bloom dalam jurnal Trends in Cognitive Sciences, orang cenderung memprioritaskan seseorang yang mereka rasa dekat secara emosional, meski dampaknya bisa merugikan banyak orang lain. Bloom memberikan contoh kasus Sheri Summers, seorang anak sakit yang diprioritaskan untuk pengobatan karena kisahnya menyentuh.

Padahal, memajukan jadwalnya berarti menunda perawatan anak lain yang mungkin lebih membutuhkan. Empati sering kali mengaburkan keadilan.

2. Bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi dan menyebarkan kebencian

ilustrasi bullying (pexels.com/cottonbro studio)

Empati gak selalu membawa kita pada kebaikan. Kadang justru dimanfaatkan untuk membangkitkan kemarahan atau rasa benci ke kelompok lain.

Dalam satu eksperimen, mahasiswa diminta berempati pada peserta lomba matematika yang butuh uang. Hasilnya? Mereka malah menyiksa lawan lomba si peserta dengan memberi saus pedas supaya konsentrasinya terganggu.

Contoh ini menunjukkan bagaimana empati bisa diselewengkan untuk mendukung agenda tertentu, termasuk dalam kampanye politik, narasi “kita versus mereka”, bahkan sampai pembenaran atas kekerasan terhadap kelompok tertentu. Empati yang seharusnya mempererat, justru bisa memperbesar jarak antar manusia kalau diarahkan secara salah.

3. Bikin kamu rentan mengalami kelelahan emosional

ilustrasi lelah (pexels.com/Kaboompics.com)

Berempati secara terus-menerus bisa membuat kamu kewalahan secara mental. Menurut penelitian Tania Singer dari Max Planck Society, saat kamu menyaksikan orang lain menderita, otakmu aktif di area yang sama saat kamu merasa sakit. Inilah yang disebut empathic distress.

Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa bikin kamu jadi apatis, menarik diri, dan bahkan menurunkan kesehatan mental. Selama pandemi, gejala ini banyak dirasakan oleh tenaga kesehatan, konselor, dan mereka yang bekerja di bidang sosial karena terus-menerus terpapar penderitaan orang lain.

4. Menghalangi tindakan yang lebih efektif

ilustrasi donasi (unsplash.com/Christian Dubovan)

Empati bisa bikin kamu fokus pada penderitaan satu orang sampai lupa tujuan besarnya. Misalnya, kamu menyumbang besar-besaran untuk satu kasus viral, tapi malah mengabaikan solusi yang bisa membantu lebih banyak orang secara sistemik. Hal ini juga disebut sebagai bias moral yang membuat keputusanmu jadi kurang objektif.

Daripada terdorong oleh emosi sesaat, penting untuk belajar menyeimbangkan empati dengan logika dan prioritas yang tepat. Kasih sayang tanpa arah yang jelas kadang justru bisa jadi penghambat perubahan nyata.

5. Membuat batas diri jadi kabur

ilustrasi lelah (pexels.com/Liza Summer)

Empati yang gak dikelola bisa bikin kamu kehilangan batas antara perasaanmu sendiri dan perasaan orang lain. Ini bisa jadi masalah besar dalam hubungan pribadi, terutama kalau kamu terlalu larut dalam emosi orang lain sampai lupa menjaga kesehatan emosimu sendiri.

Seperti kata filsuf Susanne Langer, empati adalah “pelanggaran tak disengaja atas batas individu”. Makanya, penting sekali untuk punya emotional boundary supaya kamu tetap bisa peduli tanpa ikut tenggelam.

Empati memang penting, tapi bukan berarti harus diberikan tanpa batas. Justru dengan memahami sisi gelap empati, kamu bisa jadi pribadi yang lebih bijak dan seimbang. Alih-alih hanya fokus merasakan apa yang orang lain rasakan, coba latih juga compassion atau belas kasih.

Menurut penelitian dari Tania Singer, compassion bisa bikin kamu tetap peduli tanpa terbebani secara emosional. Kamu bisa membantu tanpa harus ikut menderita. Jadi, bukan berarti kamu harus berhenti berempati, tapi kamu perlu tahu kapan, bagaimana, dan kepada siapa empati itu layak diberikan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us