Dari Peluk Ibu dan Suara Guru, Upaya Lahirkan Toleransi Beragama

Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan kosong. Artinya, "berbeda-beda tetapi tetap satu", menjadi cerminan nyata dari Indonesia yang begitu kaya akan keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat kita terdiri dari ratusan suku, berbagai ras, dan menganut beragam agama.
Sampai saat ini, ada enam agama resmi diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tak hanya itu, lebih dari 200 kepercayaan lokal dan aliran non-formal lainnya yang hidup berdampingan dengan kita. Namun, keberagaman ini bukan tanpa tantangan. Jika tidak dirawat dengan semangat kebersamaan dan saling menghargai, harmoni sosial dan kerukunan antarumat beragama bisa goyah.
Di sinilah pentingnya pendidikan toleransi, terutama bagi anak-anak sebagai generasi penerus. Orangtua dan guru memegang peran penting untuk menanamkan nilai saling menghormati, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang menghargai perbedaan dan menjunjung persatuan.
1. Pentingnya menanamkan pendidikan toleransi pada anak sejak dini

Radha Nurmaya Sabdasih, ibu rumah tangga dengan satu balita ini misalnya. Ia menyadari bahwa mengajarkan toleransi, terutama soal beragama, sangat penting dilakukan terhadap anak. Saat ditemui pada Kamis (31/7/2025) di Toska Kahve, Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, ia menggambarkan bahwa toleransi baginya adalah sebuah upaya menghargai perbedaan apa pun yang timbul dalam masyarakat dan telah mengupayakan bahwa sang anak belajar sejak dini.
"Sejak satu tahun aku mengenalkan soal itu (perbedaan) kepada Mesta. Mulai aku ikutkan baby class, di situ dia pertama kali bertemu banyak orang. Belajar toleransi juga makin terasa saat di tempat simbahnya, kebetulan simbahnya beragama Budha." Ujar Radha.
Meski belum banyak pertanyaan, tapi ibu muda ini mulai menjelaskan bahwa antara simbah dan ia sebagai orangtua memiliki cara ibadah yang berbeda, tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami balita.
Psikolog Klinis di RSUD Wates, Izzah Annisatur Rahma, M.Psi., menyetujui apa yang dilakukan oleh Radha sebagai seorang ibu. Menurut Izzah, menjelaskan tentang perbedaan, bisa dilakukan sejak anak usia pra-sekolah.
"Usia-usia anak 2-3 tahun sudah bisa dikenalkan, tapi dengan cara yang konkret, dari cara yang sederhana. Misalnya lewat keluarga, dijelaskan bahwa ayah dan ibu memiliki perbedaan. Atau ketika anak sudah sekolah, orangtua perlu membekali kenapa temannya ada yang perempuan dan laki-laki." Terang Izzah saat ditemui pada waktu dan tempat yang sama.
Begitu pun perihal toleransi beragama, bahwa akan lebih mudah mengenalkan toleransi sejak usia kecil. Ia pun menuturkan, "misalnya ada tetangga yang berbeda agama, orangtua bisa memulai menjelaskan kepada anak mengenai budaya atau cara beribadah masing-masing tanpa harus menjelek-jelekkan agama orang lain."
Hal ini turut dilakukan Risky Ramandhani, S.Pd selaku guru agama Islam di salah satu SMA negeri di Kulon Progo. Ia paham betul kalau tugas tenaga pendidik sepertinya tidak bisa mengesampingkan pendidikan toleransi.
"Toleransi di sini berarti kita sebagai umat Islam menghormati, menghargai, serta dengan sadar paham akan perbedaan dan keyakinan yang ada. Makanya dalam pembelajaran hal yang pasti selalu saya terapkan kepada para murid adalah tidak membedakan teman baik yang Islam atau non-Islam." Katanya saat ditemui pada Jumat (1/08/2025).
2. Memanfaatkan media belajar yang menyenangkan sebagai jembatan belajar

Ada berbagai media yang bisa digunakan untuk menanamkan dasar toleransi beragama kepada anak. Radha secara cermat memilihkan buku yang tak hanya menjadi alat belajar akademik, tapi juga yang bisa memberi penjelasan mengenai kehidupan sosial. Misalnya dengan buku-buku, ia dapat menunjukkan secara visual setiap rumah ibadah masing-masing agama.
"Aku kenalkan ini lho tempat simbah beribadah karena kalau sedang di rumah mertua, dia lihat dan ikuti simbahnya. Sementara untuk mengenalkan agama sendiri ya paling mudah lewat buku-buku dan memperlihatkan langsung cara kami salat." Ujar Radha.
Hal senada disampaikan oleh Izzah selaku psikolog. Menurutnya, anak-anak zaman sekarang cukup mudah menerima pembelajaran baru jika menggunakan media yang menyenangkan.
"Anak-anak cukup interest dengan sesuatu yang bersuara dan bergambar, jadi bisa melalui video atau film. Ambil contoh dalam tayangan Upin-Ipin, sejujurnya mereka mengajarkan banyak kultur. Atau bisa juga dari buku bahkan permainan."
Di satu sisi, penanaman sikap toleransi beragama pada anak usia remaja cukup berbeda. Risky Ramadhani memilih menggabungkan antara cara yang serius tapi tetap menyenangkan agat terciptanya kualitas belajar baik tapi tak monoton dan membosankan. Ia mengandalkan berbagai metode, mulai dari ceramah, memberikan infografis, diskusi kelompok kecil yang menggunakan mind mapping interaktif, sampai menayangkan video kisah para nabi.
3. Memenuhi tangki cinta hingga menjadi tauladan secara langsung di depan anak

Izzah menuturkan bahwa lingkungan menjadi salah satu faktor anak-anak apakah nantinya jadi pribadi yang terbuka atau justru tertutup pada perbedaan. Menurutnya, anak yang tumbuh di lingkungan dan keluarga yang multikultural, akan menjadi anak yang lebih toleransi pada sekitar dan tidak kagetan ketika menghadapi sesuatu yang baru.
Lagi-lagi, ada sosok guru yang dibutuhkan dalam pembentukan karakter anak. Meski sejauh ini tidak ada kasus atau tantangan berarti akan perbedaan baik agama, suku, atau ras di sekolahnya, Risky selaku guru agama memiliki trik agar murid-muridnya menjadi lebih saling menghargai.
"Biasanya saya memberikan contoh langsung kepada para murid. Saya tetap bertegur sapa, berbincang sampai bertukar cerita dengan murid mana pun, tanpa membedakan agamanya." Ujarnya.
Risky juga berpendapat bahwa tugas guru di era banternya teknologi dan informasi ini bukan sakadar memberikan pelajaran seperti yang ada di buku mata pelajaran saja, tapi juga bisa jadi contoh cara menempatkan diri sebagai sosok yang baik dan selalu mengedepankan modernisasi beragama. Ia berbagi cara yaitu dengan menjadi pribadi beragama yang tidak condong ke kanan atau ke kiri sehingga bisa menimbulkan sesuatu yang berlebih atau fanatik.
Sedangkan buat Radha sebagai ibu, ia merasa sangat perlu mengisi tangki cinta dan menjalin kedekatan sebagai upaya agar anaknya kelak tak termakan ujaran kebencian atau justru menjadi pelaku.
"Supaya saat dia nanti besar, dia memiliki kenyamanan buat berbagi cerita dengan orangtuanya. Aku percaya kalau dia gak ada rasa benci atau gak nyaman dengan orangtuanya, dia gak akan mudah terpengaruh dengan berbagai ujaran kebencian." Tambahnya.
4. Anak yang punya toleransi tinggi, tumbuh dari keluarga yang kaya komunikasi

Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang diskriminatif, akan menjadi sosok intoleran, sulit menerima hal-hal baru, hingga memiliki sudut pandang yang sempit dalam memandang sebuah perbedaan. Izzah berpesan untuk semua orangtua agar membangun dan membiasakan komunikasi dua arah dengan anak, agar kelak mereka menjadi sosok yang percaya dan terbuka pada keluarga mengenai apa yang dirasakan atau dialaminya.
"Anak itu gak hanya terbentuk dari komunikasinya dengan keluarga, tapi juga komunikasi antar keluarga, antara ayah dan ibu. Dia bisa melihat bagaimana cara orangtuanya saling berkomunikasi, sampai cara orangtua berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Karena anak adalah peniru yang andal, jadi jika ingin anak punya sifat yang toleran, maka kita perlu tunjukkan sikap tersebut sebagai orangtua." Pungkas Izzah.
Masyarakat yang harmonis tidak tercipta secara instan, melainkan melalui proses panjang yang dibentuk oleh pendidikan toleransi sejak dini. Nilai-nilai ini perlu terus ditanamkan oleh orang tua, guru, dan lingkungan sekitar. Terlebih di era sekarang, ketika rasisme semakin sering dipertontonkan secara terang-terangan, penting bagi kita untuk menjaga agar anak-anak tidak ikut terbawa arus. Jangan sampai di masa depan mereka justru menjadi pelaku, atau bahkan korban, dari budaya yang tidak menghargai perbedaan