Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Pola Konsumsi Informasi yang Bisa Mengganggu Kesehatan Mental

ilustrasi doomscrolling (freepik.com/freepik)
ilustrasi doomscrolling (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Doomscrolling berlebihan: kebiasaan membaca berita buruk tanpa henti, bisa menyebabkan kecemasan dan sulit tidur.
  • Mengandalkan media sosial sebagai sumber utama: informasi tidak selalu akurat, algoritma mempersempit sudut pandang.
  • FOMO informasi: tekanan internal untuk tahu semua hal yang viral, membuat otak terus bekerja tanpa jeda.

Di era digital yang serba cepat seperti sekarang, informasi datang tanpa henti dari berbagai arah, media sosial, portal berita, podcast, hingga forum daring. Setiap detik terasa seperti ada hal baru yang perlu diketahui, direspons, atau bahkan dijadikan bahan diskusi. Sayangnya, pola konsumsi informasi yang gak terkontrol justru bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Apa yang awalnya terasa informatif dan menyenangkan malah bisa berubah menjadi sumber stres, kecemasan, dan kelelahan emosional.

Kecanduan informasi gak sekadar soal terlalu banyak membaca berita, tapi juga tentang bagaimana otak terus-menerus distimulasi tanpa waktu untuk memproses atau beristirahat. Pola ini bisa menurunkan fokus, membuat perasaan cemas meningkat, dan menimbulkan tekanan sosial terselubung. Menyadari dan memahami pola konsumsi informasi adalah langkah awal buat menjaga kesehatan mental tetap stabil di tengah derasnya arus digital. Berikut adalah lima pola konsumsi informasi yang secara perlahan bisa menggerogoti ketenangan batin.

1. Doomscrolling berlebihan

ilustrasi doomscrolling (freepik.com/Drazen Zigic)
ilustrasi doomscrolling (freepik.com/Drazen Zigic)

Doomscrolling adalah kebiasaan menggulir layar tanpa henti untuk membaca berita buruk atau konten negatif. Biasanya terjadi secara gak sadar, terutama saat malam hari sebelum tidur. Otak yang terus disuguhi informasi menakutkan seperti bencana, konflik politik, atau tragedi, lama-kelamaan kehilangan keseimbangan emosional. Tubuh juga akan masuk ke mode waspada yang bikin sulit tidur, cemas, dan gampang tersulut emosi.

Kebiasaan ini sering dianggap wajar dengan dalih ingin tetap "update". Padahal, efek jangka panjangnya bisa mengganggu stabilitas suasana hati dan memperparah gejala gangguan mental seperti depresi atau kecemasan. Membatasi waktu membaca berita dan memilih sumber yang konstruktif bisa jadi langkah awal buat keluar dari siklus ini. Doomscrolling gak hanya menyedot waktu, tapi juga menyedot energi mental yang mestinya bisa dipakai buat hal-hal positif.

2. Mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi utama

ilustrasi scroll media sosial (unsplash.com/Terrillo Walls)

Media sosial memang cepat dan praktis, tapi bukan berarti selalu akurat atau sehat buat mental. Banyak informasi di media sosial yang dikemas secara sensasional demi menarik perhatian, bukan untuk memberi perspektif yang seimbang. Ketika terus-menerus melihat informasi yang setengah matang atau menyesatkan, seseorang bisa kehilangan kemampuan memilah mana yang fakta dan mana yang manipulasi.

Lebih parah lagi, algoritma media sosial cenderung hanya menampilkan informasi yang sesuai dengan preferensi pengguna. Ini membuat seseorang hidup dalam "gelembung informasi" yang mempersempit sudut pandang dan bisa menimbulkan polarisasi. Mengandalkan media sosial secara penuh sebagai sumber informasi justru membuat pemikiran makin sempit dan cenderung emosional. Beralih ke sumber yang terverifikasi bisa memberi keseimbangan mental dan intelektual.

3. FOMO informasi

ilustrasi FOMO (unsplash.com/Nathana Rebouças)

Fear of Missing Out (FOMO) bukan cuma soal ketinggalan tren sosial, tapi juga soal merasa harus tahu semua hal yang sedang viral. Pola ini bisa menimbulkan tekanan internal buat terus mengikuti perkembangan, walau sebenarnya sudah melelahkan. Ketika seseorang merasa harus tahu semua hal dalam waktu bersamaan, otaknya terus bekerja tanpa jeda. Ini membuat kelelahan mental meningkat secara drastis.

FOMO juga sering mendorong orang buat membaca atau menonton sesuatu yang sebenarnya gak mereka minati, hanya karena takut gak bisa ikut percakapan. Padahal, tidak semua informasi perlu dikonsumsi, apalagi jika dampaknya justru membuat stres dan gelisah. Belajar menerima bahwa gak semua hal perlu diketahui bisa memberi rasa lega dan menjaga pikiran tetap jernih. Rasa tenang justru tumbuh saat seseorang tahu batasannya sendiri.

4. Multitasking informasi

ilustrasi multitasking (freepik.com/DC Studio)
ilustrasi multitasking (freepik.com/DC Studio)

Banyak yang merasa lebih produktif saat membuka banyak tab sekaligus, mendengarkan podcast sambil membaca artikel, atau mengecek notifikasi saat bekerja. Tapi otak manusia gak dirancang buat menyerap banyak informasi sekaligus secara efektif. Multitasking informasi justru membuat konsentrasi menurun dan kualitas pemahaman berkurang. Dalam jangka panjang, ini bisa menurunkan kemampuan berpikir kritis.

Selain mengacaukan fokus, multitasking informasi juga bisa memperburuk kelelahan mental. Pikiran jadi cepat jenuh, emosi jadi gak stabil, dan tubuh merasa lelah tanpa sebab yang jelas. Berlatih fokus pada satu hal dalam satu waktu akan meningkatkan produktivitas dan menjaga ketenangan batin. Kesadaran penuh dalam menyerap informasi jauh lebih berguna daripada mencoba menelan segalanya sekaligus.

5. Kecanduan notifikasi dan refresh berulang

ilustrasi kecanduan notifikasi (unsplash.com/Jonas Leupe)

Kebiasaan mengecek notifikasi setiap beberapa menit atau menyegarkan laman media sosial berulang kali bisa menandakan ketergantungan psikologis. Tindakan ini memberi ilusi kontrol dan konektivitas, padahal hanya memicu kecemasan yang gak perlu. Otak terus mencari kepuasan instan dari informasi baru, padahal belum tentu informasi itu berguna atau relevan.

Setiap kali notifikasi muncul, otak melepas dopamin, zat kimia yang memberi rasa senang sesaat. Tapi jika dilakukan terus-menerus, tubuh akan kelelahan karena harus terus merespons. Mematikan notifikasi dan menentukan waktu khusus buat membuka aplikasi bisa membantu memutus siklus ini. Kesehatan mental gak bisa dijaga kalau hidup terus diganggu oleh dering dan getaran ponsel tanpa henti.

Mengatur pola konsumsi informasi bukan soal menolak kemajuan, tapi tentang menjaga keseimbangan antara kebutuhan tahu dan kebutuhan tenang. Di tengah gempuran digital yang tanpa henti, kemampuan buat menyaring dan mengelola informasi adalah bentuk self-care yang sering diremehkan. Jika informasi bisa membangun pengetahuan, maka cara menyerapnya harus bisa menjaga kewarasan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us