Komnas Dorong RKUHAP Berorientasi pada Pemenuhan Hak Perempuan

- DPR diminta pastikan keterlibatan bermakna Komnas Perempuan agar DPR memastikan keterlibatan yang bermakna dalam pembahasan RKUHAP, mencerminkan kebutuhan perempuan pencari keadilan.
- Banyak aparat belum berperspektif gender Banyak aparat yang belum punya perspektif gender dan menganggap korban sebagai penyebab tindak pidana.
- Kekurangan pengaturan hukum acara yang bisa rugikan perempuan Komnas Perempuan mengidentifikasi kekurangan pengaturan hukum acara yang bisa merugikan perempuan di 11 Bab RKUHAP.
Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan mengungkapkan pentingnya pemenuhan hak perempuan berhadapan dengan hukum atau PBH agar bisa dimasukkan dalam substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP. Hak ini mencakup posisi perempuan bukan hanya sebagai tersangka terdakwa atau terpidana tapi juga saat menjadi saksi dan korban.
Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, menekankan dalam kerangka KUHAP saat ini, PBH belum memperoleh jaminan perlindungan atas hak-haknya. Hal ini mencakup hak sebagai saksi, korban, tersangka atau terdakwa hingga terpidana, termasuk pemenuhan atas kebutuhan khas perempuan.
“Dalam banyak kasus, perempuan korban kekerasan masih diperlakukan semata-mata sebagai alat bukti, sementara aspek keadilan dan pemulihan atas dampak tindak pidana yang dialaminya belum menjadi perhatian negara,” kata dia, Rabu (16/7/2025).
1. Dorong agar DPR pastikan keterlibatan bermakna

Komnas Perempuan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan Komisi III pada 14 Juli 2025. Ketua Komisi III, Habiburokhman. Komnas Perempuan mendorong agar DPR memastikan keterlibatan yang bermakna atau meaningful participation dalam seluruh tahapan pembahasan RKUHAP, baik dari sisi proses maupun substansi.
Menurutnya, hal ini penting agar RKUHAP yang dihasilkan benar-benar mencerminkan pengalaman dan kebutuhan perempuan pencari keadilan, serta mampu menjawab berbagai persoalan struktural yang selama ini dihadapi PBH dalam sistem peradilan pidana.
2. Banyak aparat yang disebut belum berperspektif gender

Komnas Perempuan mengungkapkan banyak aparat yang belum punya perspektif gender dan kerap menganggap korban sebagai penyebab atau sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang dialaminya.
“Sementara itu, perempuan yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa juga belum secara optimal memperoleh jaminan atas kebutuhan khasnya, termasuk perlindungan terhadap kerentanan dan risiko ketidakadilan selama proses hukum yang dihadapinya,” katanya.
3. Bahas kekurangan pengaturan hukum acara yang bisa rugikan perempuan

Dalam substansi RKUHAP, Komnas Perempuan mengidentifikasi adanya kekurangan pengaturan hukum acara yang bisa merugikan perempuan berhadapan dengan hukum di 11 Bab, maka ada usulan substansi baru dari bab-bab itu.
Komnas Perempuan juga menyoroti sejumlah isu penting mulai dari kewenangan penyidik dan penyelidik yang belum cukup akomodir kepentingan korban kekerasan seperti yang ada di UU PKDRT atau UUT TPKS. Maka perlu ada ketentuan di dua beleid itu agar terintegrasi di RKUHAP.
“Selain itu, Komnas Perempuan juga mengusulkan adanya mekanisme pengaduan apabila laporan korban ditolak atau tidak ditindaklanjuti, serta perluasan objek praperadilan. Hal ini penting karena banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terhenti lama di tahap penyelidikan tanpa kejelasan hukum,” katanya.