Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Komnas Perempuan: Dana Bantuan Korban Butuh Skema Pendanaan Jelas

ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)
Intinya sih...
  • LPSK dengan pengelolaan baru butuh waktu
  • Selain menyoroti kesiapan lembaga pelaksana, Komnas Perempuan juga menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap skema restitusi kurang bayar
  • Pendanaan pemulihan melalui peraturan ini tentunya diberikan setelah mekanisme restitusi dijalani, namun kapan waktunya korban mendapatkan pendanaan ini juga belum dijelaskan

Jakarta, IDN Times – Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfa Anshor, menilai kesiapan lembaga pelaksana implementasi Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban (PP DBK) msih menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait kejelasan sumber pendanaan dari anggaran negara dan mekanisme alokasinya.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Kekerasan Seksual yang baru disahkan, diharapkan dapat menjadi jawaban atas kebutuhan korban kekerasan seksual yang selama ini kerap kesulitan memperoleh restitusi dan pemulihan akibat keterbatasan kemampuan pelaku membayar ganti rugi. Namun, Komnas Perempuan menyoroti beberapa aspek teknis yang masih memerlukan penajaman agar implementasi kebijakan ini tidak sekadar berhenti di atas kertas.

Kesiapan lembaga-lembaga pelaksana dalam mengimplementasikan PP DBK yang diamanatkan UU TPKS, antara lain menurut Maria adalah mulai dari memastikan sumber pendanaan tersedia, baik yang diperoleh dari filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan yang tidak mengikat, serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku pada Pasal 2 PP ini.

"Sementara sumber pendanaan DBK khususnya dari anggaran negara belum diatur secara jelas, baik sumber anggaran negara sebagaimana yang dimaksud UU TPKS maupun mekanisme alokasinya. Hal ini sangat penting untuk memastikan LPSK memiliki dukungan finansial yang konkret dan berkelanjutan,” kata Maria Ulfa Anshor kepada IDN Times, Rabu (16/7/2025).

1. LPSK dengan pengelolaan baru butuh waktu

Ilustrasi Hukum Tata Negara. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Hukum Tata Negara. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dia menjelaskan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kini memikul beban tambahan dengan mandat pengelolaan DBK. Tugas ini mencakup penyusunan kebijakan umum pengelolaan DBK, pencarian sumber dana, penyaluran, hingga pelaporan. Semua ini harus dijalankan dengan tetap berkoordinasi lintas kementerian dan lembaga.

“Kedua, dalam pengelolaan DBK LPSK memiliki tugas untuk menyusun kebijakan umum pengelolaan DBK, berkoordinasi dengan kementerian keuangan; melakukan pencarian sumber dana DBK; menerima DBK; menyusun rencana pemberian DBK terhadap dana yang telah dihimpun; memberikan DBK kepada korban sesuai peruntukan dan pemanfatannya, berkoordinasi dengan Kementerian terkait sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3)," kata dia.

Maka LPSK dengan tugas tambahan tersebut, kata dia, tentunya membutuhkan waktu, selain membutuhkan penguatan infrastruktur maupun SDM-nya dengan tata kelola yang baru, baik di tingkat pusat maupun daerah.

2. Perlunya pengawasan ketat terhadap skema restitusi kurang bayar

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Selain menyoroti kesiapan lembaga pelaksana, Komnas Perempuan juga menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap skema restitusi kurang bayar. Skema ini memungkinkan korban tetap memperoleh kompensasi meski pelaku tidak mampu membayar penuh, namun dikhawatirkan berpotensi membuat negara mengabaikan kewajibannya memberi pemulihan menyeluruh.

Dia menjelaskan, dalam UU TPKS, DBK ditujukan sebagai kompensasi terhadap restitusi kurang bayar, tetapi dalam PP DBK memperluas cakupan dengan memasukkan peruntukan untuk pendanaan pemulihan. Penambahan peruntukan DBK dengan pemulihan yang menyeluruh memang idealnya, tetapi tidak dijelaskan di dalam PP tersebut bagaimana mekanismenya.

"Dengan memperluas cakupan yang menambahkan peruntukan baru untuk pendanaan pemulihan. Hal ini merupakan mekanisme baru bagi korban untuk memperoleh pemulihan berkelanjutan di luar hak restitusi, tetapi PP DBK tidak menjelaskan kapan korban dapat mengajukan permohonan pendanaan pemulihan kepada LPSK," ujarnya.

3. Perlu dibuatkan aturan turunan yang lebih jelas

Ilustrasi uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Kemudian, pendanaan pemulihan melalui peraturan ini tentunya diberikan setelah mekanisme restitusi dijalani, namun kapan waktunya korban mendapatkan pendanaan ini juga belum dijelaskan. Maka, perlu ada kejelasan sejauh mana dana pemulihan ini dapat digunakan.

"Jadi bayangan saya PP DBK ini masih perlu dibuatkan aturan turunan yang lebih jelas agar di tingkat implementasinya tidak mengalami kesulitan, baik bagi pengelola maupun bagi korban sebagai penerima DBK tersebut,” katanya.

4. Pelaksanaan di lapangan terutama di daerah masih membutuhkan perhatian khusus

Acara puncak perayaan 25 Tahun Komnas Perempuan di Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)
Acara puncak perayaan 25 Tahun Komnas Perempuan di Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Komnas Perempuan memandang kehadiran PP DBK tetap patut diapresiasi, meskipun pelaksanaan di lapangan terutama di daerah masih membutuhkan perhatian khusus. Minimnya layanan pendampingan di daerah menjadi tantangan nyata untuk memastikan korban benar-benar dapat mengakses haknya.

Setidaknya memberi harapan bagi  korban untuk mendapatkan jaminan pemenuhan hak-haknya terkait restitusi dan pemulihan yang menyeluruh. Secara khusus, DBK diharapkan bisa diakses oleh korban tanpa harus menunggu proses restitusi tetapi bisa diberika sejak awal. Hal lainnya yang penting menjadi perhatian bagi lembaga penyelenggara BDB adalah pemberian mekanisme DBK ini tidak menghapus tanggung jawab pelaku untuk mengganti biaya yang telah ditanggung oleh negara,” kata Maria.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us