Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menilik Bogor Lewat Strategi dan Ramuan Wali Kota Dedie Rachim

Dedie Rachim.jpeg
Wali Kota Bogor Dedie Abdu Rachim saat syuting podcast Ngobrol Seru di kantor IDN Times, Selasa (12/8/2025). IDN Times/Rendy.
Intinya sih...
  • Wali Kota Bogor, Dedie Abdu Rachim, fokus pada reformasi transportasi dengan program reduksi, konversi, dan rerouting angkot serta integrasi moda dengan LRT Jabodebek.
  • Dedie Rachim belajar dari pengalaman di KPK dan pengalamannya sebagai Wakil Wali Kota Bogor sebelumnya untuk mengelola birokrasi dan memanfaatkan anggaran demi mewujudkan harapan dan impian masyarakat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wali Kota Bogor, Dedie Abdu Rachim, mengungkapkan visi besar transformasi Kota Bogor dari kota macet dan seribu angkot menjadi kota hijau, cerdas, dan berkelanjutan.

Mengandalkan pengalaman 13 tahun di KPK dan masa jabatannya sebagai Wakil Wali Kota Bogor mendampingi Bima Arya, Dedie kini fokus pada reformasi transportasi, termasuk program reduksi, konversi, dan rerouting angkot serta integrasi moda dengan LRT Jabodebek. Dia juga mendorong pemekaran Bogor Timur, pemindahan pusat pemerintahan, dan pengembangan kampung tematik untuk pariwisata.

Dalam Rakernas JKPI, Bogor bahkan diajukan sebagai kota hijau pertama di Asia versi UNESCO.

"Orang Bogor tuh selalu bangga akan identitasnya sebagai orang Bogor," kata Dedi, menekankan modal sosial warganya untuk mendorong kemajuan kota.

Visi Bogor 2045 diarahkan menjadi kota sains kreatif, maju, dan berkelanjutan berbasis sejarah dan potensi lokal.

Lalu, bagaimana Dedi Rachim akan meramu Bogor? Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Deddie Rachim dalam program Ngobrol Seru by IDN Times.

1. Dari KPK hingga pimpin kota hujan, jejak panjang karier Dedie A Rachim

Sebelum jadi Wali Kota, Anda pernah di KPK dan merupakan Wakil Wali Kota Bogor. Berapa lama bertugas di KPK? Apa yang mendorong masuk politik?

Saya masuk 2005, keluar di 2018. 13 tahun lah (di KPK). Sudah komisaris. Yang pasti di KPK itu kan bentuk lembaganya adalah lembaga penegak hukum. Jadi, di dalam rangkaian penegakan hukum, kalau di KPK itu ada yang namanya proses pencegahan, kemudian baru ada proses penindakan. Nah, saya lebih banyak berkecimpung di bidang pencegahan. Di pencegahan itu juga banyak area yang harus kita sentuh, mulai dari pendidikan, perbaikan sistem, kemudian juga reformasi birokrasi.

Kebetulan, waktu itu saya memegang dua jabatan definitif. Satu, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Kedua, Direktur Pembinaan Jaringan Antar Komisi dan Instansi. Nah, jadi memang antara KPK dengan dunia birokrasi di pemerintah daerah itu bagaikan bumi dan langit. Namun itu menjadikan pengalaman saya paling tidak lebih bisa memahami situasi, kondisi, dan bagaimana mencoba untuk memperbaiki sistem tetapi tidak secara ekstrem. Secara gradual namun pasti dan tentunya bisa terimplementasi, itu yang penting.

Jadi, bagaimana misalnya upaya mencegah korupsi bukan hanya retorika, bukan hanya teori, tetapi bisa terimplementasi. Jadi itu pengalamannya, berbeda banget antara KPK dengan birokrasi ini.

Jadi face to face terhadap masyarakatnya sudah termasuk sering ya?

Iya, karena di Undang-Undang KPK itu ada tugas namanya melaksanakan pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan. Artinya, semua jenis pendidikan harus tersentuh, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Pendekatannya tentu berbeda-beda.

Namun yang pasti, dalam konsep pendidikan ini harus membangun karakter yang antikorupsi. Kalau di sektor pendidikan, maka bukan hanya siswanya saja, bukan hanya mahasiswanya saja, tetapi dosennya juga ikut, stakeholders pendidikan ikut, para guru ikut, semuanya harus ikut. Itu harus menjadi sebuah gerakan.

Alhamdulillah pada saat itu kita hampir bisa menyentuh seluruh jenjang pendidikan. Nah, kalau sekarang ini orang sudah tahu bahwa korupsi itu jelek, korupsi itu harus dihindari. Dalam konteks pemerintahan daerah, saya juga harus membawa nilai-nilai itu. Makanya yang paling sulit adalah bagaimana mengajak semua orang untuk berubah, memperbaiki sistem, kemudian juga membangun karakter antikorupsi. Itu yang harus terus diperjuangkan karena tidak mudah.

2. Terapkan pengalaman saat dampingi Bima Arya di Bogor

Anda punya pengalaman di KPK hingga jadi Wakil Wali Kota Bogor mendampingi Bima Arya. Apa pelajaran mendampingi Bima Arya yang kini diterapkan?

Iya, jadi saya banyak belajar dari Kang Bima. Kang Bima itu orang yang visinya cukup bagus, dia mencintai kotanya, Kota Bogor, dan bisa menerjemahkan antara harapan dan impian masyarakat. Nah tentu harapan dan impian itu selalu berkembang. Tidak mungkin putus.

Kalau sudah ketemu satu persoalan yang bisa diselesaikan, masih banyak lagi persoalan yang lain. Nah itu yang kemudian, hal-hal baik seperti itu harus saya teruskan dan PR-PR ini tentu harus bisa terimplementasikan di masyarakat.

Saya belajar bagaimana mengelola, me-manage birokrasi, kemudian bagaimana mengajak peran serta masyarakat, dan yang pasti bagaimana anggaran itu bisa mendukung seluruh proses, di mana harapan dan impian menjadi kenyataan.

3. Strategi ubah citra Bogor dari kota macet dan seribu angkot

Bogor identik macet dan angkot, apalagi akhir pekan jadi tujuan wisata. Terobosan apa yang Anda lakukan untuk ubah citra itu?

Ya, memang ini PR besarnya. Karena persoalan angkot ini ujung-ujungnya adalah bagaimana mengubah kebiasaan dan sistem yang sudah terbentuk sejak lama ke dalam proses perubahan ke sistem yang baru. Kita punya program namanya reduksi, konversi, dan rerouting angkot.

Supaya stigma Kota Bogor, kota seribu angkot, bisa terlepas dan hilang, PR-nya adalah bagaimana pemerintah daerah menyiapkan anggaran yang cukup supaya bisa melaksanakan proses reduksi, rerouting, dan konversi. Itu kurang lebihnya.

Jadi kalau kita bicara rerouting, konversi, dan reduksi, maka harus ada alternatif bagaimana angkot ini berubah. Yang tadinya angkot itu kendaraan pickup yang dimodifikasi, menjadi angkutan penumpang dengan jumlah penumpang relatif terbatas, kita ubah menjadi angkutan yang lebih massal dengan jumlah penumpang lebih banyak.

Artinya, kita bisa menurunkan volume jumlah kendaraan di satu jalur. Nah, ke depan tentu ini gak selesai di situ. Kita pun harus mengantisipasi perkembangan kemajuan sistem transportasi di masa depan. Jadi ini proses yang berjalan terus dan yang pasti Kota Bogor konsisten. Kita akan reduksi, konversi, dan rerouting angkot.

Supaya masyarakat Kota Bogor mendapatkan pelayanan yang satu level, paling tidak dengan daerah-daerah lain di sekitar. Termasuk tadi, yang tinggal di Tangerang Selatan atau di Tangerang. Itu juga dekat dengan Jakarta. Tangerang Selatan, katanya akan terhubung dengan MRT, Kota Bogor akan terhubung dengan LRT. Artinya service level agreement-nya harus kita bangun supaya sama. Jadi jangan ke Bogor atau ke Tangerang jomplang banget, sementara ke Jakarta ada LRT, MRT, Whoosh, Jaklingko, TransJakarta. Kita ingin satu area aglomerasi ini punya level pelayanan yang sama.

Bisa dijelaskan maksud reduksi yang disebut tadi?

Kalau reduksi sudah berjalan. Misalnya, kita menyiapkan satu sistem transportasi baru yang namanya Biskita. Bus sedang dengan kapasitas tiga puluhan penumpang. Nah, setiap Biskita yang diluncurkan harus mereduksi tiga angkot. Tiga banding satu. Kemudian, kalau ada modernisasi angkot, dua angkot lama harus diganti dengan satu angkot baru. Bisa jadi ke depan itu mungkin angkot listrik misalnya. Itu sudah terjadi, sampai sekarang satu Biskita mereduksi tiga angkot. Sekarang sudah ada empat koridor.

Empat koridor Biskita sudah cukup menyentuh area-area masyarakat yang memang membutuhkan angkutan lebih baik. Selanjutnya, bukan hanya empat koridor, tapi ditambah jadi enam koridor, bahkan mungkin delapan koridor. Jadi jumlah angkot yang direduksi akan sama dengan kebutuhan masyarakat. Ke depan, begitu LRT sampai ke Bogor, gak cukup lagi pakai Biskita. Kita harus siapkan sistem transportasi yang seimbang dengan LRT.

Jadi, Bogor ini terhubung dengan Jakarta melalui KRL. KRL ini satu hari bisa 90 ribu orang naik. Nah, gimana caranya nanti kalau ada LRT masuk, mungkin 50 ribu per hari, tanpa dukungan sistem transportasi yang memadai? Jadi kita harus terus berimprovisasi, punya konsep penyelesaian permasalahan, tetapi dilakukan secara gradual.

4. Strategi Pemkot Bogor fasilitasi mobilitas warga komuter

Mayoritas warga Bogor komuter, siang di Jakarta malam kembali ke Bogor. Transportasi jadi krusial. Apa strategi Pemkot untuk memastikan mobilitas masyarakat lebih lancar? Selain KRL, ada TransJakarta Blok M–Bogor yang diresmikan bersama Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Bagaimana komunikasinya? Adakah rencana kerja sama lain ke depan?

Waktu saya di Magelang dengan Mas Pram, Gubernur DKI, saya sampaikan, Mas Pram, kalau Bogor ini gak disentuh sistem transportasi yang memadai, maka pilihan masyarakat sangat sempit. Orang mau ke Jakarta pilihannya naik KRL atau komuter lain atau naik bus yang mungkin sudah tidak nyaman.

Pilihan paling mudah, paling dekat adalah bagaimana TransJakarta sampai ke Bogor, supaya orang gak merasa beda naik transportasi publik di DKI dan Bogor. Mas Pram menyambut dengan baik. Beliau sampaikan, kalau tidak ada sistem transportasi yang seimbang, orang akan cenderung bawa kendaraan roda empat sendiri ke Jakarta. Kalau semua bawa mobil sendiri, Jakarta tambah penuh, tambah macet.

Nah, ini terobosan, komunikasi yang saya lakukan bersama Mas Pram, direspons baik. Akhirnya sekarang terwujud dengan jalur P11 Blok M–Bogor. Harapannya bukan hanya P11 saja, mudah-mudahan ada jalur lain, misalnya Blok M atau Senayan sampai Bubulak. Karena penumpang Bogor beragam, mulai dari Bogor Barat, Tengah, Timur, Selatan, Tanah Sareal, itu harus terakomodir. Mereka adalah komuter yang setiap hari bekerja di Jakarta tapi tinggalnya di Bogor.

5. Progres LRT Jabodebek

Ada satu proyek besar yang sempat ramai dibicarakan juga, tadi sudah menyinggung soal LRT Jabodebek. Sudah sampai mana progres LRT Jabodebek di Bogor?

Kalau kami sih dalam posisi menunggu. Tetapi yang paling penting, Bogor harus mempersiapkan diri. Kenapa? Karena masuk dalam Perpres 49 tahun 2017 atau yang sudah diperbarui. Disebutkan bahwa LRT Bodebek itu ujungnya adalah Terminal Baranangsiang. Itu di dalam Perpres.

Makanya kami optimistis, suatu saat, paling tidak dalam lima tahun ke depan, pada 2030, mudah-mudahan LRT Jabodebek sudah sampai. Skema bisnisnya seperti apa, tentu kami tidak ikutan, tapi kami harus menyiapkan sistem transportasi lanjutannya.

Kebayang gak, begitu LRT sampai Baranangsiang, satu rangkaian ada 5 gerbong, satu gerbong misalnya 40 orang, berarti 200 orang turun bersamaan. Tidak mungkin kita distribusikan mereka dengan angkot. Karena jumlahnya tidak seimbang. Kota Bogor sudah menyiapkan konsep baru, namanya Trem Pakuan. Mudah-mudahan Trem Pakuan nanti akan beririsan dengan LRT Jabodebek dan operasionalnya tidak jauh berbeda waktunya ketika LRT sampai ke Bogor.

Transitnya nanti akan difasilitasi oleh trem? Kapan direalisasikan?

Ya, paling tidak dia turun di ujung, lalu berganti moda dengan trem. Nanti kita distribusikan di dalam koridor-koridor yang sudah kita persiapkan. Tentu tadi, kalau LRT sampai Bogor tahun 2030, ya, tahun 2030 kita harus siap. Makanya kita sedang coba intens komunikasi dengan Dirjen Perkeretaapian, dengan Kementerian Perhubungan, dengan Dirjen Transportasi Antarmoda. Supaya konsep ini bukan hanya milik pemerintah pusat saja, tetapi kita juga bisa beriringan, supaya urusan transportasi di Kota Bogor selesai.

Ya, pernah ada studi alternatif LRT di-extend. Cuma karena LRT mirip kereta api, butuh jalur masif. Kalau Bogor, usulannya saat itu kalau LRT di-extend, maka harus elevated, jalur atas. Tapi Bogor itu kotanya hijau. Kalau elevated, dampaknya bisa memangkas banyak pohon, mengubah tata kota. Kalau Trem ini seperti di negara-negara Eropa, dia sharing line dengan kendaraan lain. Seperti di Solo ada jalur kereta tapi lewat jalan kendaraan. Kita mengadopsi sistem transportasi yang dulu pernah ada di Indonesia. Trem pernah ada di Jakarta dan beberapa kota lain. Trem sharing line dan harapannya tidak terlalu banyak mengganggu lingkungan.

6. Rencana pindah kantor wali kota

Jika kantor wali kota dipindah, bagaimana konsepnya, mengingat bangunan lama bernilai heritage?

Kalau kita ke Bogor, di tengah kota Bogor itu ada Kebun Raya dan Istana Bogor. Kalau sekarang ini traffic di seputaran itu volumenya sangat tinggi. Konsep kota Bogor ke depan kita akan mengusung Bogor sebagai green city, heritage city, dan smart city.

Kalau bicara green, maka di tengah kota yang beririsan dengan Kebun Raya dan Istana Bogor, emisi karbon harus ditekan semaksimal mungkin. Sementara Balai Kota, pergerakan kendaraan keluar masuknya saja kurang lebih 500 sampai 1000 per hari. Di seputaran Kebun Raya ini juga ada SMA-SMA favorit, pergerakannya 1000. Ada sekolah swasta, pergerakannya juga tinggi.

Untuk mengonsep kota hijau yang bisa menekan emisi, maka konsentrasi pergerakan birokrasi ini kita sebar, bukan hanya di tengah kota. Supaya tidak terlalu menekan. Karena lambat laun volume kendaraan makin banyak. Dengan pemindahan ini, kita akan mengurangi beban di beberapa titik, khususnya kantor dinas yang tersebar.

Sekarang alhamdulillah lahannya sudah disiapkan. Tinggal proses pembangunan bertahap kita mulai. Tahun ini pematangan lahan, tahun depan pembangunan grid di area calon kantor pemerintahan. Harapannya sebaran volume kendaraan yang menekan tengah kota bisa berkurang.

7. Strategi kembangkan kampung tematik Bogor untuk tarik wisatawan

Selama ini Bogor juga dikenal sebagai kota wisata dan jasa. Apa strategi Anda mengembangkan kampung-kampung tematik agar makin menarik wisatawan?

Ya, yang pasti Bogor itu bukan hanya Kebun Raya dan Istana. Bogor juga punya perguruan tinggi bagus, lembaga penelitian hebat, guru besar, ahli, orang-orang dengan kompetensi, khususnya di pertanian dan kehutanan. Pemerintah Kota Bogor tentu ingin memanfaatkan lembaga-lembaga ini sebagai dukungan keberlanjutan kota dengan konsep smart city, heritage city, dan green city.

Dalam visi Kota Bogor 2045, kita tetapkan Bogor sebagai kota sains kreatif, maju, berkelanjutan sehingga pemanfaatan perguruan tinggi dan lembaga penelitian jadi daya tarik. Jadi kalau orang ingin belajar agrikultur, pertanian, kehutanan, ya meskipun kampus IPB tersebar, kita ingin Bogor jadi destinasi utama.

Jantungnya. Karena Kebun Raya ada di situ. Tentu kampung-kampung atau area wisata tematik juga harus mendukung. Contohnya, kami ingin destinasi wisata tidak hanya di Alun-Alun, Kebun Raya, dan Istana. Bogor juga punya Kebun Percobaan, Kebun Penelitian CIFOR di Bogor Barat.

Kalau Kebun Penelitian CIFOR bisa jadi destinasi wisata baru, apalagi dengan koridor baru dari Kota Bogor menuju Kampus IPB di Dermaga, di Kampung Katulampa Bogor, dengan jalur khusus, ini akan membangkitkan ekonomi masyarakat dan meneguhkan posisi Bogor sebagai kota sains kreatif.

Karena kita bergandengan tangan dengan perguruan tinggi. Kita tidak ingin IPB itu jauh dari Bogor. Makanya salah satu upaya kita supaya destinasi wisata tidak hanya Kebun Raya, Suryakencana, Alun-Alun, Istana, tetapi juga ada museum, lembaga penelitian yang menunjang kemajuan Kota Bogor.

8. Bogor diajukan jadi Kota Hijau Pertama di Asia versi UNESCO

Anda baru menghadiri Rakernas Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) dan mengajukan Bogor sebagai kota hijau pertama di Asia ke UNESCO. Bisa ceritakan prosesnya?

Iya, jadi kemarin di pertemuan JKPI itu, saya bertemu beberapa ahli, termasuk dari Kementerian PUPR, juga pengamat kota. Mereka menyampaikan bahwa Bogor dirancang sejak zaman kolonial sebagai green city, dasarnya Kebun Raya dan lembaga penelitian yang awalnya jadi pusat aklimatisasi tanaman yang disebarkan ke seluruh Indonesia.

Dengan sejarah panjang ini, dengan fakta bahwa sampai hari ini Kota Bogor menjadikan Kebun Raya sebagai pusat kota, hampir sama dengan Central Park di New York, gak ada salahnya kalau kita jadikan referensi sejarah ini sebagai semangat mengajukan diri ke UNESCO sebagai kota pertama di Asia yang punya konsep green city.

Tetapi tidak cukup hanya histori. Ke depan kita harus upayakan, misalnya memperluas ruang terbuka hijau, membangun taman hutan wisata, yang terus kita kembangkan sebagai wujud green city. Jadi ini lebih banyak mendorong PR ke kita semua. Kita Bogor green city loh. Jadi tidak boleh orang nebang pohon sembarangan. Orang Bogor harus punya kebiasaan nanam pohon, merawat pohon. Tujuannya ke sana. Bahwa label Bogor sebagai green city adalah bagian dari proses sejarah panjang yang harus kita jaga dan teruskan.

9. Hal paling menyenangkan dari Kota Bogor

Secara pribadi, apa yang paling menyenangkan dari Bogor yang bisa Anda bagikan?

Ya, Bogor itu kalau menurut saya kota yang sangat spesifik. Spesifik begini, orang mengenal Bogor bukan hanya Kebun Raya dan Istana.
Tapi orang kalau ngomongin Bogor ada sisi negatifnya, misalnya kota seribu angkot, kota sejuta angkot, tapi di balik itu semua orang Bogor ini ternyata punya kaitan satu dengan yang lain.

Jadi keluarga yang satu dan yang lain ternyata ada saling keterikatan, baik secara kekeluargaan, maupun secara, apa namanya, background sekolah, background kesukuan, dan sebagainya. Tetapi dari berbagai macam jenis latar belakang ini, orang Bogor tuh selalu bangga akan identitasnya sebagai orang Bogor. Jadi gak ada tuh misalnya gini, kalau ditanya, “Kamu orang mana?” Pasti nyebutnya langsung, “Orang Bogor.” Gak ada, misalnya, “Kamu orang mana?” “Orang Bandung.” “Bandung-nya di mana?” “Di Bogor.”

Nah, orang Bogor tuh punya itu, punya rasa percaya diri, punya rasa kebanggaan terhadap daerahnya. Meskipun latar belakangnya berbeda-beda, tetapi mereka tetap punya ikatan-ikatan. Jadi punya satu kebanggaan, dan itu saya perhatikan sampai dengan hari ini. Ketemu orang Bogor di mana pun, pasti dia akan bangga, “Saya dari Bogor.” Iya, meskipun Bogor-nya kan banyak ya.

Dari Cisarua, Bogor juga. Dari Leuwiliang, Bogor juga. Dari Gang Menteng, Bogor juga. Tapi semua ini, Bogor itu sebuah entitas keluarga besar yang kalau menurut saya punya modalitas untuk mau maju, berkembang, menjadikan kotanya semakin baik lagi ke depan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us