Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

AS Bantah Serangan ke Iran Dikaitkan Dengan Upaya Pergantian Rezim

Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth (kanan). (commons.wikimedia.org/U.S. Secretary of Defense, public domain)
Intinya sih...
  • Meski dibantah oleh AS, isu pergantian rezim Iran semakin ramai diperbincangkan setelah serangan Israel dan pernyataan Netanyahu.
  • Isu pergantian rezim Iran semakin ramai diperbincangkan, terutama setelah Israel meluncurkan serangan ke Iran pada 13 Juni lalu.
  • Diskusi soal pengganti Khamenei mencuat, dengan nama Reza Pahlavi sebagai calon yang disukai Israel.

Jakarta, IDN Times – Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), Pete Hegseth, membantah bahwa serangan negaranya ke Iran pada Minggu (22/6/2025) bertujuan untuk mengganti rezim di Teheran.

“Misi ini bukan dan tidak akan pernah ada kaitannya dengan pergantian rezim,” ujar Hegseth dalam konferensi pers bersama Ketua Kepala Staf Gabungan Angkatan Udara Jenderal Dan Caine, seperti dilansir Anadolu Agency.

Pernyataan itu disampaikan setelah Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan bahwa militer AS telah melakukan serangan yang “sangat berhasil” terhadap tiga lokasi nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Esfahan. Serangan ini dilatarbelakangi meningkatnya kekhawatiran akan potensi konflik yang lebih luas di kawasan.

“Trump mengizinkan operasi presisi untuk menetralisir ancaman terhadap kepentingan nasional yang ditimbulkan oleh program nuklir Iran, sekaligus untuk membela pasukan kita dan sekutu, termasuk Israel,” jelas Hegseth.

1. Isu pergantian rezim semakin menguat

Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. (commons.wikimedia.org/Khamenei.ir)

Meski dibantah oleh AS, isu pergantian rezim Iran justru semakin ramai diperbincangkan, terutama setelah Israel meluncurkan serangan ke Iran pada 13 Juni lalu. Saat itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka menyatakan bahwa membunuh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bisa menjadi cara untuk mengakhiri konflik.

“Kematian Pemimpin Tertinggi tersebut tidak akan meningkatkan konflik, tetapi akan mengakhirinya,” ujar Netanyahu, dikutip dari CNN.

Namun, pernyataan itu langsung ditanggapi dengan penolakan oleh Presiden Trump. Ia menegaskan bahwa meskipun AS mengetahui keberadaan Khamenei dan bisa saja menargetkannya, langkah tersebut dianggap bukan pilihan yang tepat.

“Kami tahu persis di mana 'Pemimpin Tertinggi' bersembunyi. Ia adalah target yang mudah tetapi aman di sana. Kami tidak akan menghabisinya — setidaknya untuk saat ini,” ungkap Trump.

2. Sosok pengganti Khamenei disebut telah disiapkan

Ilustrasi bendera Iran. (unsplash.com/sina drakhshani)

Diskusi soal pengganti Khamenei pun mulai mencuat. Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute di Washington DC, menyebut bahwa jika skenario pergantian rezim benar-benar dijalankan, maka diperlukan sosok alternatif yang siap memimpin, serta pengerahan pasukan ke Iran.

Salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai calon pengganti dan disukai Israel adalah Reza Pahlavi, putra mantan Shah Iran yang digulingkan pada 1979 dan kini tinggal di AS. Pahlavi dikenal vokal mendukung langkah-langkah Israel terhadap Iran.

Pada Jumat lalu, Menteri Urusan Diaspora Israel, Amichai Chikli, mengunggah foto dirinya berjabat tangan dengan Pahlavi disertai keterangan “Segera di Teheran” di media sosial X.

Keesokan harinya, dalam wawancara dengan BBC News, Pahlavi menyatakan bahwa konflik Israel-Iran bisa menjadi momen penting untuk menjatuhkan rezim Iran. Namun para analis memperingatkan bahwa jika Khamenei terbunuh dan Dewan Penjaga menunda penunjukan penggantinya, kekosongan kekuasaan justru dapat memicu ketidakstabilan politik yang berbahaya.

3. Upaya penggulingan rezim dinilai mustahil

Rudal Kheibar Shekan Iran. (commons.wikimedia.org/M. Sadegh Nikgostar, free license)

Meskipun gagasan pergantian rezim tampak realistis di atas kertas, sejumlah pakar meragukan keberhasilannya. Narges Bajoghli, penulis dan analis di Time, menyebut bahwa sistem pemerintahan Iran memiliki fondasi yang sangat kuat berdasarkan sejarah panjang dan pengalaman revolusi.

“Bahkan di tengah krisis, sistem ini mampu menciptakan pemimpin, faksi, dan pusat kekuasaan baru. Kematian tokoh kunci tidak akan meruntuhkan sistem, justru bisa memperkuatnya,” ujarnya.

Selain itu, kekuatan militer Iran yang besar dan kompleks menjadi penghalang utama. Iran memiliki dua struktur militer: Artesh, angkatan bersenjata reguler dengan sekitar 420 ribu personel, dan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), militer elite berideologi dengan 190 ribu pasukan. Di luar itu, ada juga Basij, jaringan paramiliter dengan ratusan ribu anggota yang tersebar hingga ke sekolah, masjid, dan lingkungan warga.

“Mereka tidak hanya loyal kepada Ayatollah, tetapi terikat oleh visi nasionalisme dan kemandirian Iran,” tambah Bajoghli.

Dengan struktur kekuasaan yang solid dan jaringan militer yang menyebar hingga ke akar rumput, menggulingkan rezim Iran bukan hanya sulit, tetapi bisa jadi membawa konsekuensi regional yang lebih besar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us