Donald Trump Akan Pantau Sosmed Mahasiswa Asing yang Ingin Belajar di AS

- Proses pengajuan visa pelajar kembali dibuka dengan syarat membuka akses publik ke media sosial
- Kebijakan ini memicu kekhawatiran privasi dan dampak negatif terhadap universitas elit seperti Harvard
- Kritik atas pelanggaran privasi dan risiko profilisasi terhadap pelamar visa yang dianggap sebagai tindakan berlebihan
Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memberlakukan kebijakan yang memperketat pengawasan media sosial bagi pelamar visa pelajar. Langkah ini diklaim sebagai bagian dari upaya memperkuat keamanan nasional dengan menyaring potensi ancaman dari luar negeri.
Mulai Rabu (18/6/2025), pemohon visa pelajar diwajibkan membuka akses publik ke akun media sosial mereka. Petugas konsuler akan meninjau konten digital guna mendeteksi indikasi dukungan terhadap kekerasan, terorisme, atau pandangan yang dianggap anti-Amerika.
1. Proses pengajuan visa kembali dibuka
Bulan lalu, pemerintah menghentikan sementara penjadwalan wawancara visa pelajar guna mempersiapkan prosedur baru ini. Kini, permohonan visa kembali dibuka dengan syarat pelamar menyesuaikan pengaturan privasi media sosial mereka agar dapat diakses publik.
Seluruh pelamar visa pelajar dan pengunjung pertukaran akan menjalani penyaringan menyeluruh. Petugas konsuler diminta mencari unggahan yang menunjukkan dukungan terhadap organisasi teroris, kekerasan, atau komentar antisemitik. Kebijakan ini merujuk pada perintah eksekutif Presiden Trump untuk mencegah masuknya individu yang dianggap membahayakan keamanan nasional.
“Kebijakan ini memastikan kami memeriksa setiap individu yang ingin masuk ke negara kami dengan seksama,” ujar seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS yang tak ingin disebut namanya, dikutip NPR.
Ia menyatakan, pengawasan media sosial penting untuk melindungi kampus dan masyarakat AS.
2. Kekhawatiran pelajar dan dampak ke universitas
Kebijakan ini berdampak pada pelajar asing dari berbagai negara, termasuk China, India, Meksiko, dan Filipina. Banyak dari mereka mengaku khawatir privasi mereka terganggu.
Dilaporkan The Baltimore Banner, seorang pelajar asal Nigeria, Owolabi, menghapus unggahan yang mengkritik kebijakan AS karena takut visanya ditolak.
Universitas elite seperti Harvard turut terdampak. Pada Mei 2025, Harvard menjadi target program percontohan penyaringan ketat. Meski rencana pembatasan visa pelajar Harvard sempat diblokir hakim federal, tekanan terhadap institusi pendidikan tinggi tetap berlanjut.
Dilansir The Washington Post, para pendukung pendidikan internasional khawatir kebijakan ini mengirim sinyal bahwa AS tidak lagi ramah terhadap pelajar asing.
“Pemeriksaan ini dapat membatasi kebebasan berekspresi pelajar asing,” kata Jameel Jaffer, Direktur Eksekutif Knight First Amendment Institute di Universitas Columbia, dilansir NPR,
Ia menilai kebijakan ini mirip penyaringan ideologis era Perang Dingin yang bisa membungkam ekspresi politik sah.
3. Kritik atas pelanggaran privasi dan risiko profilisasi
Sejumlah organisasi HAM dan kebebasan digital mengkritik kebijakan ini. Sofia Cope, pengacara dari Electronic Frontier Foundation, menyebutnya sebagai tindakan berlebihan yang tidak masuk akal.
Dalam wawancara dengan Business Standard, ia menilai pelamar visa seharusnya tidak dihukum karena menjaga privasi daring atau tidak aktif di media sosial.
Kekhawatiran juga muncul terkait risiko profilisasi berdasarkan pandangan politik. Dilansir The Guardian, fokus pada sikap “anti-Amerika” atau kritik terhadap sekutu AS, seperti Israel, bisa dimanfaatkan untuk menolak pelamar tertentu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan pejabat Trump yang menyebut kritik terhadap perang Israel di Gaza sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional AS.
“Kebijakan ini memberi wewenang sensor kepada petugas konsuler dan dapat membungkam kebebasan berbicara pelajar asing,” ujar Jaffer.
Ia memperingatkan bahwa penyaringan digital ini bisa menciptakan efek global yang menghambat ekspresi daring.