Slovenia Akan Izinkan Pasien Dewasa Kritis untuk Akhiri Hidup

Jakarta, IDN Times – Parlemen Slovenia mengesahkan undang-undang (UU) yang melegalkan praktik bantuan medis untuk mengakhiri hidup atau assisted dying pada Jumat (18/7/2025). Keputusan bersejarah ini diambil melalui pemungutan suara dengan hasil 50 anggota parlemen mendukung, 34 menolak, dan 3 abstain.
Pengesahan ini merupakan tindak lanjut dari referendum konsultatif yang diadakan pada 2024. Hasil referendum tersebut menunjukkan 55 persen pemilih mendukung adanya UU terkait hak individu untuk menentukan akhir hidupnya, dilansir Fox News.
1. Syarat ketat bagi pasien Slovenia yang ingin mengakhiri hidup
UU ini memiliki aturan main yang ketat dan tidak berlaku untuk semua orang. Pasien harus sudah berusia dewasa, dapat berpikir jernih, dan menderita penyakit stadium akhir yang tidak dapat disembuhkan.
Syarat lainnya adalah pasien mengalami penderitaan berat yang tak tertahankan dan semua pilihan pengobatan medis sudah habis. UU ini tidak berlaku jika penderitaan yang dialami hanya disebabkan oleh gangguan kejiwaan.
Proses pengajuannya dibuat berlapis untuk mencegah adanya penyalahgunaan. Dikutip dari Slovenia Times, pasien harus menyatakan niatnya dua kali kepada dokter sebelum bisa mengajukan permohonan resmi.
Permintaan itu kemudian akan dikaji oleh komisi khusus, dokter independen lain, dan seorang psikiater. Terakhir, pasien harus menyuntikkan atau meminum sendiri zat mematikan yang telah disiapkan.
2. Proses pengesahan UU diwarnai perdebatan sengit
Proses pengesahan UU ini diwarnai perdebatan panjang yang membelah opini publik Slovenia. Koalisi partai pemerintah menjadi pendukung utama RUU ini di parlemen.
Para pendukung menyebutnya sebagai langkah welas asih dan penghormatan atas hak otonomi individu. Menurut mereka, negara tidak seharusnya membiarkan warganya terus menderita tanpa ada harapan.
Tereza Novak, anggota parlemen dari partai pendukung, menyebut hak ini bukanlah tanda kekalahan bagi dunia medis.
"Justru keliru jika dunia medis menghalangi hak seseorang untuk mati saat mereka menginginkannya, sementara medis sendiri sudah tidak bisa menolong," kata Novak, dilansir Al Jazeera.
Adapun penolakan datang dari kelompok konservatif dan Gereja Katolik. Mereka menyuarakan kekhawatiran mendalam soal dampak moral dan sosial dari UU tersebut.
Partai Demokrasi Slovenia (SDS) menjadi salah satu yang paling vokal menentang UU ini. Mereka menganggap UU tersebut merendahkan nilai kehidupan manusia dan membuka pintu bagi "budaya kematian".
3. Kelompok konservatif berupaya batalkan UU

Meski sudah disahkan, UU ini kemungkinan akan kembali menghadapi perlawanan hukum. Sebuah kelompok sipil konservatif telah mengumumkan rencana untuk menantang pengesahan tersebut.
Kelompok bernama "Melawan Peracunan Pasien" itu akan berupaya menggelar referendum tandingan untuk membatalkan UU tersebut.
"Setiap pasien berhak atas pengobatan, pereda nyeri, perawatan, welas asih, dan kedekatan. UU kematian yang dibantu ini justru bertentangan dengan itu semua dan memaksa pasien mati karena diracun," ujar Aleš Primc, pemimpin kelompok tersebut.
Untuk dapat menggelar referendum balasan, mereka harus berhasil mengumpulkan 40 ribu tanda tangan warga yang terverifikasi. Sementara itu, UU ini baru akan dapat dilaksanakan sepenuhnya dalam enam bulan ke depan untuk masa persiapan.
Dengan UU ini, Slovenia mengikuti jejak beberapa negara lain yang sudah lebih dulu melegalkannya. Dilansir dari Strait Times, negara-negara tersebut antara lain adalah Kanada, Belgia, dan Belanda.