[OPINI] Kondangan Tanpa Mabuk, Bisakah? Stereotip Negatif Budaya Jawa Timur

- Kondangan di Jawa Timur sering dikaitkan dengan konsumsi alkohol tradisional seperti tuak dan ciu.
- Tradisi kondangan seharusnya merupakan ajang silaturahmi dan gotong royong, namun terkontaminasi dengan budaya minum yang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.
- Stereotip negatif tentang kondangan Jawa Timur semakin menguat, padahal masih banyak contoh kondangan yang berjalan baik tanpa unsur mabuk.
Setiap kali ada undangan pernikahan di Jawa Timur, entah mengapa selalu ada satu pertanyaan yang menggantung di udara: "Nanti ada tuaknya nggak?" Pertanyaan ini mungkin terdengar sepele, namun sebenarnya mencerminkan sebuah fenomena sosial yang lebih dalam. Budaya kondangan yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi dan gotong royong, kini seolah tak bisa dipisahkan dari ritual "sembrek" alias mabuk berjamaah. Ironisnya, hal ini justru terjadi di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Lantas, apakah memang benar kondangan di Jawa Timur sudah "terkontaminasi" sedemikian rupa? Atau ini hanya stereotip yang terlanjur mengakar kuat?
Untuk memahami fenomena ini, kita perlu melihat akar sejarahnya terlebih dahulu. Kondangan sendiri berasal dari kata "kondang" yang berarti terkenal atau dirayakan. Tradisi ini lahir dari semangat gotong royong masyarakat Jawa yang ingin berbagi kebahagiaan bersama. Dalam konteks pernikahan, kondangan berfungsi sebagai bentuk dukungan moral dan material kepada keluarga yang mengadakan hajatan. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi murni ini mulai "bercampur aduk" dengan berbagai elemen lain. Salah satu yang paling kontroversial adalah masuknya budaya minum minuman beralkohol tradisional seperti tuak dan ciu.
Fenomena "hijacking" tradisi kondangan oleh budaya minum ini tidak terjadi dalam semalam. Proses ini berlangsung bertahap, dimulai dari era kolonial hingga masa modern. Pada masa kolonial Belanda, konsumsi alkohol tradisional sempat menjadi bagian dari resistensi budaya lokal. Tuak dan ciu dianggap sebagai simbol identitas yang membedakan masyarakat pribumi dengan penjajah. Namun, yang ironis adalah bagaimana simbol resistensi ini kemudian "menempel" pada tradisi religius dan sosial masyarakat. Akibatnya, muncul dikotomi yang membingungkan: di satu sisi ada nilai-nilai Islam yang melarang konsumsi alkohol, di sisi lain ada "tradisi" yang seolah membenarkannya.
Kini, di era media sosial, stereotip negatif tentang kondangan Jawa Timur semakin menguat. Viral video dan meme tentang "kondangan ekstrim" menjadi bahan candaan yang justru memperkuat image buruk ini. Padahal, jika kita jujur, tidak semua kondangan di Jawa Timur berakhir dengan "sembrek" massal. Banyak keluarga yang tetap menjalankan tradisi kondangan dengan cara yang lebih sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya yang sebenarnya. Sayangnya, suara minoritas yang "berlebihan" ini justru lebih keras terdengar dibanding mayoritas yang menjalankan tradisi dengan bijak. Media sosial, dengan algoritma yang memprioritaskan konten kontroversial, turut memperkuat stereotip ini.
Dampak dari stereotip negatif ini bukan hanya soal image, tapi juga soal identitas budaya yang lebih fundamental. Generasi muda Jawa Timur kini menghadapi dilema: haruskah mereka meneruskan tradisi kondangan dengan "paket lengkap" yang kontroversial, atau mencoba "memutar ulang" tradisi ini ke bentuk yang lebih murni? Banyak yang memilih jalan tengah dengan tetap kondangan tapi menghindari ritual "sembrek". Namun, tidak jarang mereka dianggap "tidak gaul" atau "terlalu religius" oleh sebagian kelompok masyarakat. Ironi ini menunjukkan betapa kuatnya tekanan sosial yang terbentuk dari stereotip yang sebenarnya tidak representatif.
Jika kita melihat lebih dalam, sebenarnya ada banyak contoh kondangan di Jawa Timur yang berjalan dengan sangat baik tanpa unsur "sembrek" sama sekali. Di beberapa daerah seperti Ponorogo, Madiun, dan Ngawi, tradisi kondangan masih sangat kental dengan nilai-nilai Islami. Acara dimulai dengan pembacaan doa, dilanjutkan dengan makan bersama, dan diakhiri dengan silaturahmi yang bermakna. Tidak ada tuak, tidak ada ciu, tapi suasana tetap meriah dan penuh kebersamaan. Bahkan, di beberapa tempat, kondangan justru menjadi ajang dakwah dan pengajian yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa model kondangan yang positif ini tidak sepopuler yang kontroversial? Jawabannya sederhana: karena hal-hal positif memang jarang menjadi viral. Media dan masyarakat cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang sensasional dan kontroversial. Kondangan yang berjalan dengan baik, khidmat, dan sesuai nilai agama dianggap "biasa-biasa saja" dan tidak menarik untuk diperbincangkan. Padahal, inilah yang seharusnya menjadi representasi sebenarnya dari budaya kondangan Jawa Timur. Kita perlu mengubah mindset ini dan mulai mengapresiasi hal-hal positif yang ada di sekitar kita.
Solusi untuk mengatasi stereotip negatif ini sebenarnya cukup sederhana: edukasi dan keteladanan. Para tokoh masyarakat, ulama, dan influencer lokal perlu lebih aktif mempromosikan model kondangan yang sehat dan sesuai nilai-nilai agama. Bukan dengan cara menghakimi atau mencela, tapi dengan memberikan contoh nyata betapa indahnya kondangan yang dijalani dengan cara yang benar. Pemerintah daerah juga bisa berperan dengan membuat program-program yang mendukung tradisi kondangan yang positif. Misalnya, memberikan apresiasi kepada keluarga yang menyelenggarakan kondangan dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat.
Yang paling penting adalah kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Kondangan adalah tradisi yang sangat mulia dan bermanfaat jika dijalankan dengan benar. Ia bisa menjadi sarana untuk memperkuat ikatan sosial, berbagi kebahagiaan, dan bahkan berdakwah. Namun, semua ini hanya bisa terwujud jika kita mau kembali ke esensi sebenarnya dari tradisi kondangan. Jangan biarkan stereotip negatif merusak tradisi yang sebenarnya sangat indah ini. Mari kita buktikan bahwa kondangan tanpa mabuk bukan hanya mungkin, tapi juga jauh lebih bermakna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Pada akhirnya, budaya adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk meneruskan aspek-aspek negatif yang telah mengakar, atau kita bisa memilih untuk "mem-filter" dan meneruskan hanya yang baik-baik saja. Kondangan adalah warisan budaya yang berharga, jangan sampai ia ternoda oleh praktik-praktik yang sebenarnya bukan bagian dari esensinya. Sudah saatnya kita mengubah narasi tentang kondangan Jawa Timur dari yang negatif menjadi positif. Karena pada dasarnya, kondangan yang sesungguhnya adalah tentang berbagi kasih sayang, memperkuat persaudaraan, dan merayakan kebahagiaan bersama. Dan semua itu, tentu saja, tidak memerlukan alkohol sama sekali.