Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Ada Negara yang Punya Ibu Kota Lebih dari Satu?

Afrika Selatan
Afrika Selatan (pexels.com/Pixabay)

Fenomena negara dengan lebih dari satu ibu kota bukan sekadar keunikan administratif, melainkan juga mencerminkan dinamika sejarah, politik, geografis, hingga strategi pembangunan nasional. Dalam ilmu pemerintahan dan kajian geografi politik, hal ini disebut sebagai bentuk polycentric governance yang lazim diterapkan di negara-negara dengan kompleksitas wilayah atau sejarah panjang kolonialisme dan konflik internal.

Penerapan lebih dari satu ibu kota biasanya tidak dilakukan secara acak, tetapi melewati pertimbangan matang dan strategi jangka panjang. Berikut lima alasan utama mengapa beberapa negara memilih memiliki lebih dari satu ibu kota.

1. Pemerintah membagi fungsi untuk efisiensi administratif

Colombo, Sri Lanka
Colombo, Sri Lanka. (pexels.com/Sadeep Sasanka)

Beberapa negara memilih untuk memecah fungsi pemerintahan ke kota yang berbeda demi meningkatkan efisiensi kerja birokrasi. Langkah ini memungkinkan setiap lembaga negara menjalankan tugasnya secara lebih terfokus tanpa harus terkonsentrasi dalam satu wilayah. Misalnya, Afrika Selatan menempatkan urusan administratif negaranya di Pretoria, legislatif di Cape Town, dan yudikatif di Bloemfontein untuk menghindari tumpang tindih kerja antar-lembaga.

Strategi serupa juga diterapkan oleh Sri Lanka, di mana Colombo dijadikan pusat komersial dan yudisial, sedangkan Sri Jayawardenepura Kotte menjadi ibu kota legislatif. Pemisahan ini tidak hanya memperjelas pembagian wewenang, tetapi juga mengurangi tekanan infrastruktur di satu kota saja. Dengan menyebar fungsi administratif, negara juga bisa mempercepat pembangunan kawasan lain yang selama ini terpinggirkan. Selain itu, pembagian seperti ini cenderung menciptakan sistem pemerintahan yang lebih dinamis dan adaptif terhadap perubahan.

2. Negara menjaga stabilitas politik lewat pemerataan kekuasaan

Sucre, Bolivia
Sucre, Bolivia (commons.wikimedia.org/Murray Foubister)

Beberapa negara yang memiliki sejarah politik sensitif memilih strategi pemerataan kekuasaan dengan menetapkan lebih dari satu ibu kota. Hal ini bertujuan untuk meredam potensi konflik yang mungkin timbul akibat dominasi satu kelompok atau wilayah. Bolivia, misalnya, menetapkan Sucre sebagai ibu kota konstitusional dan La Paz sebagai pusat pemerintahan administratif demi menjaga stabilitas antara kubu historis dan pusat ekonomi.

Dengan langkah seperti ini, pemerintah menunjukkan niat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Strategi tersebut menciptakan keseimbangan simbolik dan praktis, terutama di negara-negara dengan beragam latar belakang etnis, bahasa, atau sejarah politik. Contoh lainnya adalah Benin, di mana Porto-Novo menjadi ibu kota resmi sementara Cotonou menjadi pusat kegiatan pemerintahan. Kebijakan ini bukan hanya bentuk kompromi politik, tetapi juga cara konkret untuk mencegah konflik antarwilayah dalam jangka panjang.

3. Pemerintah mengakomodasi warisan sejarah kolonial

Kuala Lumpur, Malaysia
Kuala Lumpur, Malaysia (commons.wikimedia.org/CEphoto, Uwe Aranas)

Beberapa negara yang dulunya merupakan koloni memilih mempertahankan dua kota penting dengan peran administratif yang berbeda. Biasanya, kota yang dibangun atau dikembangkan oleh penjajah telah memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Setelah merdeka, pemerintah memilih kota lain sebagai simbol identitas nasional yang baru tanpa menghapus peran kota lama. Hal ini membuat kedua kota tetap relevan secara politik dan administratif.

Malaysia adalah contoh konkret dari kondisi ini. Kuala Lumpur tetap menjadi ibu kota resmi, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke Putrajaya yang lebih terencana dan modern. Langkah ini tidak hanya mempertimbangkan efisiensi, tapi juga semangat untuk membangun identitas pascakolonial. Hal serupa juga terlihat di Cote d'Ivoire, dengan Yamoussoukro sebagai ibu kota resmi dan Abidjan sebagai pusat pemerintahan de facto. Keputusan ini kerap menjadi bentuk kompromi antara keberlanjutan dan perubahan.

4. Negara menyiasati letak geografis yang tidak simetris

Santiago, Chile
Santiago, Chile (commons.wikimedia.org/Draceane)

Kondisi geografis yang unik sering memaksa negara untuk membagi pusat pemerintahan ke beberapa wilayah. Negara seperti Eswatini, yang memiliki wilayah yang terbilang cukup kecil namun membagi antara kepentingan administratif dan tradisional, menetapkan Mbabane sebagai ibu kota administratif dan Lobamba sebagai pusat kerajaan dan parlemen. Hal ini mempermudah koordinasi pemerintahan dan menghormati tatanan budaya yang ada.

Dalam kasus lain, seperti di Chile, Santiago berperan sebagai pusat eksekutif dan ekonomi, sementara Valparaíso menampung lembaga legislatif. Pembagian ini membantu menciptakan konektivitas yang lebih merata dan memperluas akses publik terhadap institusi pemerintahan. Saat kondisi alam menjadi penghambat, memiliki lebih dari satu pusat kekuasaan bisa mempercepat penyaluran bantuan atau respons terhadap krisis lokal. Pendekatan ini membuktikan bahwa pemilihan ibu kota bukan hanya soal simbolik, tetapi juga strategi geografis yang cermat.

5. Pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi regional

Den Haag, Belanda
Den Haag, Belanda (commons.wikimedia.org/Hubertl)

Kebijakan menetapkan lebih dari satu ibu kota juga bisa menjadi alat untuk mendorong pembangunan ekonomi yang merata. Kota yang ditetapkan sebagai ibu kota biasanya akan mendapatkan perhatian lebih dari segi infrastruktur, investasi, dan mobilitas penduduk. Dengan membagi status ibu kota ke beberapa kota, pemerintah bisa memicu pertumbuhan yang seimbang di berbagai wilayah.

Contohnya dapat dilihat di Belanda, di mana Amsterdam merupakan ibu kota resmi, tetapi pusat pemerintahan dan kedutaan besar berada di Den Haag. Situasi ini membuat dua kota berkembang pesat tanpa saling meniadakan. Pendekatan semacam ini juga mencegah terjadinya ketimpangan pembangunan dan meminimalkan urbanisasi yang berlebihan di satu titik. Selain mempercepat pemerataan, hal ini dapat memperkuat integrasi nasional dengan menjadikan banyak kota sebagai bagian dari wajah negara.

Penetapan lebih dari satu ibu kota bukan sekadar keputusan administratif, tetapi mencerminkan dinamika politik, sejarah, dan strategi pembangunan nasional yang kompleks. Beberapa negara memilih pendekatan ini demi efisiensi, stabilitas, atau untuk menjawab tantangan geografis. Apa pun alasannya, langkah tersebut membuktikan bahwa struktur pemerintahan bisa sangat fleksibel tergantung kebutuhan dan konteks negara masing-masing.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo Sy
EditorAtqo Sy
Follow Us