Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
HYP01372.JPG
PT Vale Indonesia Tbk, Bernardus Irmanto (batik cokelat) pada acara IDN Leadership Forum di IDN HQ, Jakarta (IDN Times/Herka Yanis P)

Intinya sih...

  • Suplai nikel berlebihan dari Indonesia menyebabkan pasar over supply.

  • Kelebihan suplai terjadi sejak tahun lalu dan diprediksi akan berlanjut beberapa tahun ke depan.

  • Tutupnya 28 smelter nikel dipengaruhi oleh beban usaha yang naik, termasuk kenaikan harga bahan baku.

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 28 smelter nikel di Indonesia berhenti beroperasi dalam beberapa bulan belakangan ini. Hal itu disampaikan langsung oleh Plt CEO PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Bernardus Irmanto ketika menghadiri IDN Times Leadership Forum di IDN HQ, Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Pria yang karib disapa Anto tersebut mengutip informasi dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) terkait tutupnya puluhan smelter di Indonesia.

"Jadi tiga bulan lalu data dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia atau APNI, sampai sekarang itu ada 28 smelter tutup karena satu, memang harganya terjatuh. Salah satu penyebabnya adalah membanjirnya produk nikel dari Indonesia yang menyebabkan pasar over supply,” kata Anto kepada IDN Times.

1. Suplai terlalu banyak tidak diimbangi derasnya permintaan

Ilustrasi tambang nikel (pexels.com/Ikbal Alahmad)

Anto menjelaskan, suplai berlebih dan permintaan yang melambat saat ini membuat harga nikel mengalami tren penurunan. Oleh sebab itu, Anto menyatakan, Indonesia dengan status sebagai negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia mesti memiliki strategi untuk mengoptimalkan sumber daya alam (SDA) tersebut.

"Sekarang ini faktanya adalah suplai nikel itu berlebih dan sebagian besar suplai nikel itu berasal dari Indonesia. Membanjiri pasar lah intinya. Sementara demand-nya lebih lambat dibanding yang kita prediksikan," kata Anto.

2. Kelebihan suplai terjadi sejak tahun lalu

ilustrasi nikel (unsplash.com/Jack B)

Anto menambahkan, kondisi suplai yang berlebih dan minimnya permintaan nikel terjadi sudah lama atau sejak 2024 silam.

"Bahkan dari dua tahun lalu juga sudah terjadi," kata Anto.

"Tapi kemudian mungkin melebar gap-nya, oversupply-nya melebar, mungkin belakangan ini dan mungkin situasi ini masih akan terjadi beberapa tahun lagi," sambungnya.

3. Beban usaha

ilustrasi nikel (unsplash.com/USGS)

Selain faktor kelebihan suplai, tutupnya 28 smelter nikel juga dipengaruhi oleh beban usaha yang naik. Naiknya beban usaha disebut Anto dikarenakan beberapa faktor, termasuk harga bahan baku, di antaranya bijih, yang naik

"Kedua memang tentang beban usaha yang naik karena berbagai kenaikan harga dan biaya produksi” kata Anto.

Terkait dengan royalti, Anto menjelaskan, PT Vale adalah salah satu perusahaan yang terdampak dari pengenaan tarif royalti yang lebih tinggi untuk produk olahan nikel. Namun, smelter-smelter yang tutup tersebut justru tidak harus membayarkan royalti atas produk olahan nikel mereka karena mereka beroperasi menggunakan izin usaha industri (IUI).

Sebelumnya diberitakan, pemerintah tengah berupaya meningkatkan pendapatan negara dengan membahas revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengatakan, hal tersebut dibahas dalam rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto. Rapat juga dihadiri Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

"Kita melakukan pembahasan untuk melakukan exercise beberapa sumber-sumber pendapatan negara baru khususnya peningkatan royalti di sektor emas, nikel dan beberapa komoditas lain," kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Editorial Team