Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
DSC00022.jpeg
Novotel Makkah, Arab Saudi yang diakuisisi oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). (dok. Danantara)

Intinya sih...

  • Pembelian Novotel Mekah melalui akuisisi Thakher Development Company oleh Danantara menuai kritik.

  • Kritik dilontarkan Direktur NEXT Indonesia, Herry Gunawan dari sisi bisnis, mandat Danantara, dan tata kelola.

  • Akuisisi hotel dan lahan itu berpotensi menjadi masalah hukum di kemudian hari jika terjadi kerugian, seperti yang terjadi selama ini pada banyak kasus BUMN.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Langkah Danantara mengakuisisi Thakher Development Company yang mencakup pembelian Novotel Mekah, Arab Saudi dan real estat menuai kritik. Menurut Direktur NEXT Indonesia, Herry Gunawan menilai ada tiga poin utama yang perlu dikritik dari langkah tersebut. Pertama, dari sisi bisnis.

Danantara sendiri menyatakan akusisi tersebut mempertimbangkan kajian awal, di mana salah satunya aset yang diakuisisi berpotensi  mendukung penyediaan akomodasi dan layanan bagi jemaah haji dan umrah Indonesia.

Menurut Herry, haji adalah peristiwa musiman, artinya tingkat okupansi tinggi hanya terjadi di satu waktu saja.

“Masih ada 11 bulan hotel itu akan sepi, sementara biaya operasional, baik yang tetap maupun variabel, tetap harus ditanggung,” kata Herry dikutip Senin, (22/12/2025).

1. Ada potensi laba jadi minus

Novotel Makkah, Arab Saudi yang diakuisisi oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). (dok. Danantara)

Dengan biaya operasional yang besar di luar musim haji, menurutnya bisa menggerus laba yang diperoleh hotel saat musim haji.

“Kalaupun penginapan jemaah haji bisa dikontrol, misalnya wajib menginap di hotel milik Danantara, jumlah terbesarnya selama ini hanya 200 ribu jemaah. Dan kapasitas hotel yang sudah dibeli hanya mampu menampung 4.383 jemaah haji,” tutur Herry.

Sementara itu, jika pengunjung hotel diincar dari jemaah umrah yang tidak musiman, menurut dia mekanisme pasar akan berlaku.

“Penyelenggara umrah tidak bisa dipaksa gunakan hotel milik Danantara. Pilihan mereka tergantung yang lebih efisien, baik dari sisi harga, lokasi maupun kenyamanan,” ucap Herry.

2. Investasi dalam negeri perlu disorot

Wisma Danantara Indonesia (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Dari sisi mandat Danantara, menurut dia utamanya adalah mengakselerasi investasi di dalam negeri. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 2025, salah satu tujuan penting kehadiran Danantara adalah meningkatkan dan mengoptimalkan investasi dan operasional BUMN dan sumber lain.

“Dan UU BUMN No.16 Tahun 2025, antara lain adalah memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya,” tutur Herry.

Dia mengatakan, untuk mewujudkan mandat itu, Danantara perlu mengakselerasi investasi di dalam negeri.

“Ini justru lebih penting diperhatikan oleh Danantara. Jangan diabaikan,” kata Herry.

Herry menjabarkan, dalam 20 tahun terakhir, rata-rata kontribusi investasi terhadap PDB Indonesia hanya 29 persen per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 5 persen per tahun. Menurut dia, kontribusi itu harus didongkrak, seperti India dan China, yang masing-masing kontribusi investasi terhadap PDB rata-rata di atas 30 persen dan 40 persen per tahun.

“Pertumbuhan ekonomi mereka rata-rata 6-8 persen per tahun,” tutur Herry.

Apalagi, selama ini kontribusi investasi dalam negeri sebagian besar disumbang swasta, sebesar 85 persen.

“Dari pemerintah dan Danantara hanya sisanya. Ini pekerjaan rumah yang seharusnya juga jadi prioritas Danantara,“ ujar Herry.

3. Tata kelola dipertanyakan

Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) mengumumkan akuisisi Thakher Development Company di Makkah, Arab Saudi. (dok. Danantara)

Dia menyatakan, jika langkah Danantara bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga sewa tempat tinggal untuk jemaah haji, menurutnya tidak harus memiliki properti.

“Sewa jangka panjang misalnya 10 tahun, justru bisa lebih rasional, karena bisa berbagi risiko dengan pemilik hotel. Biaya juga bisa terkelola dengan baik,” ucap Herry.

Dia juga menyinggung status perusahaan yang diakuisisi Danantara, dan bagaimana peluangnya untuk menjadi objek audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Saat ini masih bermakna ganda. Mau disebut BUMN (sesuai UU BUMN 16/2025), tapi pemegang sahamnya bukan Negara. Atau, belum ada hak istimewa yang dimiliki Negara, seperti saham merah putih,” kata Herry.

Dia melihat akuisisi hotel dan lahan itu berpotensi menjadi masalah hukum di kemudian hari jika terjadi kerugian, seperti yang terjadi selama ini pada banyak kasus BUMN.

Editorial Team