Jakarta, IDN Times - Menteri Keuangan Sri Mulyani mewanti-wanti Indonesia untuk mengantisipasi faktor eksternal untuk perekonomian Indonesia. Mulai dari risiko gagal bayar di perusahaan properti China, Evergrande, batas utang (debt limit) Amerika Serikat (AS), dan kebijakan tapering off Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserves (The Fed).
Tidak hanya ketiga itu saja, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Indonesia juga diselimuti masalah eksternal lain seperti harga minyak mentah dunia atau commodity boom hingga masalah geopolitik seperti konflik di Timur Tengah dan kasus Laut China Selatan.
Berbagai masalah tersebut bisa berdampak pada perekonomian Indonesia. Bhima bahkan memperkirakan secara umum inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan sesuai target. Sebagai informasi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,7-4,5 persen pada kuartal IV-2021.
"Saya memprediksi pertumbuhan ekonomi 3-3,5 persen. Karena dibantu di kuartal II kita bisa tumbuh 7 persen. Tapi kuartal III lebih rendah pertumbuhan kisaran 2-3 persen, tapi gak bisa ke 7 persen. Di kuartal IV ini faktor-faktor tadi baru terasa efeknya yang paling signifikan," kata Bhima kepada IDN Times, Kamis (30/9/2021).
Faktor eksternal tersebut juga bisa berpengaruh pada masyarakat Indonesia secara langsung. "Kalau disimpulkan ketakutannya adalah inflasi dan kurs. Ini bisa kena ke masyarakat secara langsung," Bhima menambahkan.
Berikut ini adalah dampak dari krisis Evergrande, Debt Limit, Tapering Off dan faktor eksternal lainnya buat warga Indonesia.