Ilustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)
Bhima mengatakan setiap tahunnya pemerintah juga menarik utang untuk membayar bunga utang, bak gali lubang, tutup lubang.
Pada 2014 lalu, pemerintah harus mengeluarkan Rp133 triliun untuk membayar bunga utang. Lalu, Rp156 triliun di 2015, Rp183 triliun di 2016, Rp217 triliun di 2017, Rp258 triliun di 2018, Rp276 triliun di 2019, dan Rp314 triliun di 2020. Di 2021 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembayaran bunga utang hingga Rp373,3 triliun.
"Masalah bunga utang, setiap tahunnya kita harus membayar Rp373 triliun hanya untuk bunga utang saja. Artinya untuk menutup bunga utang pemerintah membayarnya tidak bisa dengan penerimaan pajak, tetapi harus menerbitkan utang baru," tutur dia.
Hal ini menurut Bhima bisa mengancam pemulihan ekonomi dan kesehatan di Tanah Air. "Dengan ancaman bunga utang yang semakin tinggi, maka ruang fiskalnya akan semakin sempit untuk pemulihan ekonomi, pemulihan sektor kesehatan, dan juga perlindungan sosial," ujar dia.
Membengkaknya bunga utang itu menurut Bhima disebabkan oleh besarnya porsi surat utang atau surat berharga negara (SBN) dalam penarikan utang oleh pemerintah.
"Porsi surat utang terhadap utang pemerintah itu semakin dominan, di atas 85 persen, ini akan jadi beban tambahan di luar batas kemampuan negara. Karena surat utang relatif lebih mahal dibandingkan pinjaman ke lembaga-lembaga bilateral maupun multilateral, itu bunganya relatif kecil," kata Bhima.
Perlu diketahui, kenaikan utang per Juni 2021 disebabkan oleh penerbitan SBN sebesar Rp5.711,79 triliun, atau naik Rp131,77 triliun dari posisi Mei yang sebesar Rp5.580,02 triliun. Dengan demikian, porsi SBN dari total utang pemerintah mencapai 87,14 persen.
Sedangkan, pinjaman pemerintah hanya sebesar Rp842,76 triliun per Juni 2021, atau naik Rp4,63 triliun dari posisi Mei yang sebesar Rp838,13 triliun.