Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi penduduk lokal negara Kamboja (pexels.com/Humphrey Muleba)
ilustrasi penduduk lokal negara Kamboja (pexels.com/Humphrey Muleba)

Intinya sih...

  • Afghanistan memiliki GDP PPP sekitar 63,28 miliar dolar AS dengan per kapita hanya 1.991 dolar AS, terhambat oleh konflik politik dan infrastruktur minim.

  • Yaman memiliki GDP PPP total sebesar 36,48 miliar dolar AS, dan per kapita 2.237 dolar AS, namun terpuruk akibat perang saudara yang membuat ekonomi tidak stabil.

  • Tajikistan hanya mencatat GDP PPP 8,51 miliar dolar AS dengan per kapita 5.931 dolar AS, sangat bergantung pada remitansi dan pertanian sehingga ekonominya stagnan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah kamu bertanya-tanya, di balik gemerlap pertumbuhan ekonomi Asia yang sering kita dengar, seperti apa kondisi negara-negara yang justru tertinggal? Asia adalah benua dengan kontras yang sangat tajam, di mana kemakmuran dan kesulitan hidup sering kali hanya berbatas negara.

Artikel ini akan membahas sembilan negara di Asia yang diproyeksikan memiliki perekonomian terpuruk pada 2025 berdasarkan GDP PPP (Purchasing Power Parity) atau Keseimbangan Kemampuan Berbelanja. GDP PPP ini memberikan gambaran yang lebih nyata tentang daya beli masyarakatnya karena menyesuaikan dengan biaya hidup.

Yuk, kita simak bersama negara-negara mana saja yang masuk dalam daftar ini dan apa saja tantangan terberat yang mereka hadapi.

1. Afghanistan

ilustrasi negara Afghanistan (pexels.com/Qasim Mirzaie)

Afghanistan punya GDP PPP sekitar 63,28 miliar dolar AS dengan per kapita hanya 1.991 dolar AS. Penyebab utamanya adalah konflik politik berkepanjangan dan masalah keamanan.

Hampir semua sektor ekonomi terhambat karena infrastruktur minim dan investor asing enggan masuk. Tingkat pengangguran juga tinggi, ditambah mayoritas aktivitas ekonominya masih informal sehingga pertumbuhannya jalan di tempat.

2. Yaman

ilustrasi negara Yaman (pexels.com/irwan zahuri)

Yaman sebenarnya punya sumber daya alam, tapi perang saudara bikin negara ini hancur-hancuran. Dengan GDP PPP total sebesar 36,48 miliar dolar AS, dan per kapita 2.237 dolar AS, kondisi warganya memprihatinkan.

Banyak orang kehilangan pekerjaan, layanan publik tidak memadai, dan ekonomi gak stabil sama sekali. Potensi besar dari minyak pun sulit dimaksimalkan karena konflik yang gak kunjung reda.

3. Tajikistan

ilustrasi bendera negara Tajikistan (pexels.com/Olga Kovalski)

Tajikistan hanya mencatat GDP PPP 8,51 miliar dolar AS dengan per kapita 5.931 dolar AS. Negara ini sangat bergantung pada kiriman uang (remitansi) dari warganya yang kerja di luar negeri, terutama Rusia.

Sektor industrinya hampir gak berkembang, sehingga mayoritas penduduk masih hidup dari pertanian. Kondisi ini bikin ekonomi Tajikistan stagnan dan sulit naik kelas.

4. Myanmar

ilustrasi negara Myanmar (pexels.com/Vietnamese Private Tours)

Myanmar punya GDP PPP 71,21 miliar dolar AS dengan per kapita 5.566 dolar AS. Sayangnya, potensi besar dari sumber daya alam belum bisa dimaksimalkan.

Alasannya jelas: instabilitas politik dan dominasi militer bikin investor asing ragu masuk. Akibatnya, ketimpangan ekonomi makin lebar, infrastruktur minim, dan banyak orang hidup dalam kemiskinan.

5. Kirgizstan

ilustrasi negara Kirgizstan (pexels.com/Mehmet Turgut Kirkgoz)

Dengan GDP PPP 8,66 miliar dolar AS dan per kapita 6.980 dolar AS, Kirgizstan juga terjebak dalam masalah klasik: terlalu bergantung pada remitansi dan pertanian.

Kurangnya diversifikasi ekonomi bikin negara ini rentan banget kalau ada guncangan global. Ditambah kondisi politik yang gak stabil, pertumbuhan ekonominya jadi lambat dan gak merata.

6. Nepal

ilustrasi negara Nepal (pexels.com/Wedding Vibes)

Nepal mencatat GDP PPP 37,24 miliar dolar AS dengan per kapita 5.535 dolar AS. Mayoritas penduduknya tinggal di pedesaan dan menggantungkan hidup dari pertanian.

Sektor industri dan layanan masih minim, infrastruktur juga jauh tertinggal. Ditambah lagi, bencana alam seperti gempa besar beberapa tahun lalu bikin perkembangan ekonomi makin terhambat.

7. Laos

ilustrasi negara Laos (pexels.com/Stephen Leonardi)

Laos punya GDP PPP 28,91 miliar dolar AS dengan per kapita 6.813 dolar AS. Sama seperti negara tetangganya, Laos juga sangat bergantung pada pertanian.

Basis industrinya lemah, infrastruktur belum memadai, dan investasi asing masih terbatas. Semua ini bikin pertumbuhan ekonomi Laos jalan lambat dan tingkat kemiskinan tetap tinggi.

8. Bangladesh

ilustrasi negara Bangladesh (pexels.com/MD. WAHED)

Mungkin kamu kaget lihat Bangladesh ada di daftar ini, karena ekonominya sempat tumbuh pesat berkat industri tekstil. Tapi meskipun GDP PPP totalnya besar, yaitu 317,44 miliar dolar AS, per kapitanya cuma 1.847 dolar AS.

Masalah utama ada di overpopulasi, kesenjangan pendapatan, dan infrastruktur yang belum merata. Akhirnya, banyak masyarakat di pedesaan masih hidup dalam kemiskinan.

9. Kamboja

Infografis daftar negara termiskin di Asia 2025 (IDN Times/Aditya Pratama)

Dengan GDP PPP 33,91 miliar dolar AS dan per kapita 7.029 dolar AS, Kamboja masih kesulitan keluar dari kategori negara miskin. Ekonominya terlalu bergantung pada industri berupah rendah seperti garmen dan pariwisata. Selain itu, akses pendidikan dan peluang kerja di pedesaan masih terbatas, sehingga jurang kemiskinan terus berlanjut meskipun ada pertumbuhan.

Kesembilan negara ini menunjukkan kalau tantangan ekonomi bukan cuma soal angka GDP, tapi juga faktor politik, sosial, dan infrastruktur. Mulai dari konflik berkepanjangan, ketergantungan pada remitansi, sampai distribusi pembangunan yang gak merata.

Kalau masalah-masalah ini bisa diatasi, peluang mereka buat tumbuh sebenarnya cukup besar. Namun untuk saat ini, perjuangan keluar dari jerat kemiskinan masih jadi pekerjaan rumah besar bagi masing-masing negara.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team