Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kemiskinan (Foto: IDN Times)
Ilustrasi kemiskinan (Foto: IDN Times)

Intinya sih...

  • Penduduk miskin aktual di lapangan jauh lebih besar dibandingkan pada statistik

  • Kebijakan anggaran dan perlindungan sosial ikut terkena dampak

  • Reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional

Jakarta, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis jumlah penduduk miskin per Maret 2025 mencapai 8,47 persen dari total populasi Indonesia atau setara dengan 23,8 juta jiwa. Angka tersebut mengalami penurunan tipis 0,1 persen poin dibandingkan September 2024.

Center of Economic and Law Studies (Celios) pun langsung menyoroti data tersebut. Menurut Celios, penurunan angka kemiskinan secara gradual bukanlah hal mengejutkan terutama bagi Indonesia yang notabenenya negara berkembang dengan bonus demografi.

Idealnya, penduduk miskin akan terus turun seiring dengan peningkatan produktivitas ekonomi dan meningkatnya kemampuan negara menyediakan akses layanan publik. Masalahnya, penurunan yang hanya 0,1 persen poin menunjukkan, kemampuan negara untuk terus menurunkan angka kemiskinan semakin berkurang.

"Banyak masyarakat yang keluar dari garis kemiskinan, tapi dalam waktu bersamaan, jumlah orang yang jatuh miskin kembali atau menjadi miskin baru juga tinggi. Akibatnya, penurunan bersih (net) sangat kecil, dan tidak mencerminkan kemajuan yang signifikan dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat," kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira dalam pernyatan resminya, Jumat (25/7/2025).

1. Penduduk miskin aktual di lapangan jauh lebih besar dibandingkan pada statistik

Potret penduduk miskin (IDN Times/Muhammad Nasir)

Tidak hanya itu, Bhima meyakini bahwa penduduk miskin yang aktual di lapangan jauh lebih banyak dari angka kemiskinan pemerintah. Selama ini, terdapat kesenjangan yang mencolok antara data kemiskinan resmi milik pemerintah Indonesia dan data yang dirilis lembaga internasional.

Berdasarkan laporan terbaru World Bank, sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara dengan 194,4 juta jiwa. Angka ini sangat berbeda dengan data resmi BPS yang mencatat hanya 8,57 persen atau 24,06 juta orang yang dikategorikan miskin.

Meski metodologi keduanya berbeda, disparitas sebesar 8 kali lipat ini menunjukkan ada masalah dalam cara pemerintah mendefinisikan kemiskinan. BPS sudah hampir lima dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan dengan berbasiskan pengeluaran serta item-item yang tidak banyak berubah dan tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi.

Bhima pun menyampaikan, masalah fundamental data kemiskinan berdampak pada pengambilan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, klaim pemerintah terkait keberhasilan perlindungan sosial, program pertanian, MBG, dan hilirisasi tidak sepenuhnya tercermin dari data BPS.

“Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan sama saja data nya kurang valid.” kata Bhima.

Selain itu, data BPS juga tidak bisa jadi acuan bagi program bantuan sosial pemerintah lantaran tidak akurat sehingga membuat pemerintah mengeluarkan anggaran lebih besar untuk mengidentifikasi penerima manfaat.

"Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS.” ujar Bhima.

2. Kebijakan anggaran dan perlindungan sosial ikut terkena dampak

PosIND tahun ini kembali dipercaya sebagai mitra pemerintah dalam menyalurkan program bantuan sosial (bansos). (dok. PT Pos Indonesia)

Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar melihat dampak dari metodologi usang yang dipakai BPS berpengaruh langsung pada kebijakan anggaran dan perlindungan sosial.

Dengan jumlah penduduk miskin yang kecil versi data pemerintah, maka alokasi anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026 juga berpotensi ditekan atau tidak akan mengalami peningkatan signifikan.

Padahal di luar subsidi BBM, persentase anggaran perlinsos Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar satu persen, dan menjadi salah satu yang terendah di Asia. Indonesia masih tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang telah mengalokasikan lebih dari lima persen PDB untuk perlindungan sosial.

"Pengukuran data kemiskinan BPS yang tidak lagi relevan ini, juga diperburuk oleh sistem pendataan yang mensyaratkan penerima bansos harus terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun," tutur Media.

3. Reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional

ilustrasi tentang kemiskinan (unsplash.com/Towfiqu barbhuiya

Oleh karena itu, Media memandang pemerintah dan BPS perlu melakukan reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional. Negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa telah secara berkala menyesuaikan metodenya seiring dengan perkembangan sosial ekonomi. Indonesia pun harus mengikuti langkah serupa.

Menurut Media, perubahan itu membutuhkan keberanian politik dan untuk itu Celios mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan pendekatan baru dalam memaknai kemiskinan secara lintas sektoral.

"Perpres ini menjadi dasar bagi integrasi data, sinkronisasi indikator, dan penyesuaian seluruh program pengentasan kemiskinan ke depan. Namun, langkah tersebut hanya mungkin dilakukan jika data kemiskinan tidak lagi dipolitisasi. Selama angka kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan atau legitimasi politik, maka reformasi metodologi hanya akan menjadi retorika," ujar Media.

Editorial Team