TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pengamat: Penurunan Suku Bunga Belum Mampu Gerek Permintaan Kredit

Sektor riil masih “pingsan” dan belum bergerak kencang

Ilustrasi kredit (IDN Times/Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Penurunan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRRR) dinilai bukan menjadi senjata ampuh untuk mengerek permintaan dan penyaluran kredit perbankan. Alasannya, pelaku usaha saat ini masih banyak yang belum bangkit dan ragu untuk mengajukan pembiayaan. 

Staf Ahli Pusat Studi BUMN dan Pengamat Perbankan Paul Sutaryono mengatakan, tren penurunan suku bunga kredit perbankan sebagai dampak perubahan BI7DRRR sebenarnya telah terjadi sejak tahun lalu. Akan tetapi, penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) terbukti tidak mampu mendorong permintaan kredit. 

“Selama ini penurunan suku bunga kredit juga belum mampu menggerek permintaan kredit. Mengapa? Karena memang sektor riil masih pingsan sehingga belum mampu bergerak dengan kencang,” jelas Paul, Jumat (5/2/2021). 

Baca Juga: Pengamat Ungkap Resep Jitu Demi Kerek Permintaan Kredit

1. Laju penyaluran kredit perbankan per Desember 2020 terkontraksi -2,41 persen

Ilustrasi credit (IDN Times/Arief Rahmat)

Akibat masih banyaknya pelaku usaha yang kondisinya belum pulih, kontraksi kredit tetap terjadi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laju penyaluran kredit perbankan per Desember 2020 terkontraksi -2,41 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp5.481,6 triliun. 

Padahal, hingga Desember 2020 tingkat rata-rata suku bunga kredit (SBK) perbankan turun hingga single digit. SBK Kredit Modal Kerja turun 88 bps menjadi 8,88 persen, lalu SBK Kredit Investasi turun 102 bps menjadi 9,21 persen, dan SBK Kredit Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97 persen. 

Kemudian SBDK seluruh segmen kredit telah berada pada level single digit, yaitu SBDK ritel 8,88 persen, SBDK korporasi 8,75 persen, SBDK KPR 8,36 persen, SBDK non KPR 8,69 persen, dan SBDK Mikro 7,33 persen. 

2. Pemerintah wajib mendorong kenaikan konsumsi rumah tangga

Penyaluran bansos (Dok. Kemenko PMK)

Meskipun SBDK perbankan telah turun, likuiditas perbankan yang melimpah menyebabkan perbankan harus mengeluarkan biaya dana yang relatif lebih tinggi. Dengan demikian, tantangan perbankan saat ini adalah bagaimana menjawab permintaan kredit yang rendah. Di sisi lain, dana pihak ketiga tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit. 

“Tentu saja, pemerintah wajib terus mendorong stimulus dan insentif kepada sektor riil, juga bansos kepada rakyat kecil untuk mendorong kenaikan konsumsi rumah tangga. Kiat itu amat mahal memang, tetapi manjur untuk menyuburkan konsumsi rumah tangga guna menaikkan pertumbuhan ekonomi. Ya, (penurunan SBDK dan suku bunga acuan) bukan senjata ampuh,” ungkap Paul.

Berdasarkan hasil analisis Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang dipublikasikan pada Januari 2021, diketahui bahwa faktor paling elastis atau memengaruhi pertumbuhan kredit adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. Selain dua variabel ini, faktor lain yang turut berkontribusi membuat naik/turunnya permintaan kredit adalah suku bunga, NPL, dan penjualan ritel. 

Baca Juga: Begini Skema Keringanan Kredit Bank BRI bagi yang Terdampak COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya