TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Soal MyPertamina, Ombudsman: Pelaksanaan Belum Tepat Sasaran 

Kelompok kecil susah akses MyPertamina

IDN Times/Hana Adi Perdana

Jakarta, IDN Times - Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Hery Susanto berpendapat kalau MyPertamina sebagai satu terobosan dalam digitalisasi. Tetapi, pelaksanaan di lapangan masih belum tepat sasaran.

Berdasarkan proses asesmen yang dilakukan oleh ORI, pelaksanaan MyPertamina ini masih terbatas di sebagian kecil SPBU di daerah-daerah besar.

"Dalam catatan kami sebarannya sudah di 10 provinsi, dan belum semua kabupaten kota, dan jauh dari basis perekonomian rakyat di level bawah. Paling banyak ditemukan pendaftaran MyPertamina itu sopir, ojek dan lain-lain, nelayan kecil sekali, petani gimana akses mereka supaya bisa masuk MyPertamina, ini belum terserap dalam aplikasi tersebut," kata Hery dalam diskusi daring bertajuk 'Subsidi Energi BBM untuk Siapa?: Review Nota Keuangan 2023 & Catatan Kritis' yang digelar oleh Transisi Energi Indonesia (TEI), Rabu (31/8/2022) malam. 

Baca Juga: PKS: Keputusan Pemerintah Naikkan Harga BBM Bersubsidi Tidak Tepat

1. Adanya keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil untuk mendaftar melalui MyPertamina

Promo MyPertamina. (IDN Times/Istimewa).

Hery menambahkan, temuan ORI menyatakan adanya keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil untuk mendaftar melalui MyPertamina. Ini jadi satu alasan kalau sosialisasi harus dilakukan lebih masif lagi.

"Artinya di sini aplikasi harus melindungi (sesuai dengan) persyaratan dalam Undang Undang Pelayanan Publik, pelayanan informasi, dan konsultasi ini belum masif dilakukan. Sehingga pemerintah terlalu menggemborkan upaya lewat MyPertamina di seluruh lapisan masyarakat, harus dievaluasi dan diperbaiki untuk serapan pembatasan," terangnya.

2. Ada 3 pijakan dasar untuk pengaturan masalah subsidi energi BBM secara keseluruhan

Ilustrasi pengisian BBM di SPBU. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Sementara itu, peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan sebetulnya ada tiga pijakan dasar untuk pengaturan masalah subsidi energi BBM secara keseluruhan. Pertama, UU APBN. Saat ini pemerintah bersama DPR sedang membahas RAPBN 2023.

Menurut Daeng, UU APBN itu hanya mengatur level yang terlalu makro, tidak spesifik. Misalnya indikator pada siapa yang berhak subsidi, yaitu masyarakat miskin, maka harus disasar langsung.

“Tapi indikator harus jelas, di UU APBN samar yakni ada subsidi dan kompensasi. Ini yang menyamarkan. Kompensasi terjadi perdebatan antara Kementerian Keuangan dan operator Pertamina,” kata Daeng.

Baca Juga: BPH Migas: Pendataan MyPertamina Buat Subsidi BBM Tepat Sasaran

3. Perpres harus detail, tidak boleh mengambang

(Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Kedua, Peraturan Presiden No. 191 tahun 2014. Menurutnya, Perpres itu harus detail tidak boleh mengambang, baik indikator dan siapa yang berhak menerima subsidi. Daeng menegaskan, jika melihat Perpres ini sulit sekali menerjemahkan dan mengawasi kendaraan yang lalu lalang, maka Perpres itu harus lebih detail.

“Dan dalam Perpes ada sanksi yang tegas, tidak hanya pada masyarakat, termasuk lembaga yang melakukan pengawasan. Jangan masyarakat yang melanggar saja yang kena sanksi. Perlu dibuat aturan yang tegas dan rigit,” katanya.

Ketiga, institusi pengawasnya. “BPH Migas harus diatur sampai ke bawah infrastrukturnya. Berita media bisa tapi sejauh mana media punya kemampuan untuk menjangkau pelanggaran level bawah. Negara melalu BPH Migas yang bisa,” terangnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya