Indonesia Selangkah Lebih Dekat Menuju Resesi
Penentuan ada di kuartal III 2020, sanggup loloskah kita?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Realisasi tersebut membuat Indonesia selangkah lebih dekat dengan resesi.
Resesi bisa terjadi bila pada kuartal III ekonomi Indonesia kembali terkontraksi. Bila perekonomian sebuah negara mengalami kontraksi atau minus selama enam bulan alias dua kuartal berturut-turut, itu akan dinyatakan sebagai resesi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan realisasi tersebut jauh lebih dalam dari proyeksi INDEF yang sebesar minus 3,8 persen. Menurut Bhima, Indonesia semakin dekat menuju resesi.
"Di kuartal III dipastikan masuk resesi," ujarnya kepada IDN Times, Kamis (6/8/2020).
Baca Juga: RI Diramal Lolos Resesi, Ekonom: Ramalannya Cuma Cherry Picking!
1. Belanja pemerintah di kuartal II 2020 malah minus
Belanja pemerintah, salah satu komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi malah mengalami kontraksi yang cukup dalam selama kuartal II/2020, terutama pada belanja pemerintah pusat. Dalam catatan BPS, belanja pemerintah terkontraksi minus 6,9 persen. Artinya, anggaran pemerintah tak mampu menjadi pendorong ekonomi.
Bhima mengaku heran mengapa belanja pemerintah justru mengalami kontraksi. Padahal pemerintah sudah menggelontorkan ratusan triliun untuk penananganan COVID-19.
"Belanja pemerintah ini aneh kok minus 6.9 persen padahal ada stimulus. Kenapa ditahan pencairannya?" ucap Bhima.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku tak heran dengan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 yang terkontraksi. Sebab, konsumsi rumah tangga, investasi hingga ekspor malah anjlok.
"Yang mengkhawatirkan adalah pengeluaran pemerintah minus 6,9 persen. Artinya government spending yang seharusnya bisa exogenous malah jadi pro cylical," tulis Chatib di akun twitter resminya.
Chatib memahami kontraksi belanja pemerintah akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hanya saja, pemerintah dinilai kurang optimal dalam mendorong konsumsi melalui bantuan sosial, alokasi kesehatan hingga bantuan langsung tunai (BLT).
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengungkapkan bahwa anjloknya belanja pemerintah lantaran adanya kebijakan PSBB dan WFH. Di sisi lain, program pemulihan ekonomi nasional masih di tahap awal pelaksanaan.
“Kontraksi belanja pemerintah ini akibat diterapkannya bekerja dari rumah dan PSBB yang menyebabkan belanja perjalanan dan aktivitas pemerintah menurun tajam,” ujarnya.
Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini juga menuding pemerintah justru menjadi salah satu faktor pertumbuhan ekonomi mandek. Dia mengkritik dua sektor yang dianggap potensial saat krisis namun justru tidak berkutik saat pandemik COVID-19. Kedua sektor itu menurut didik adalah sektor informasi dan komunikasi (infokom) dan sektor kesehatan.
"Peluang yang bagus seperti sektor informasi dan komunikasi. Itu harusnya tumbuh dua digit, tidak seperti sekarang. Ini artinya menterinya nganggur, gak mikir, tidak punya daya inovasi, diam, menunggu, gak melakukan apa-apa," kata Didik dalam webinar daring Indef, Kamis (6/8/2020).
Data BPS mencatat sektor infokom hanya tumbuh 4,66 persen (yoy) sedangkan sektor kesehatan 3,71 persen (yoy). Sementara secara kuartal, infokom hanya 3,44 persen (QtQ) dan sektor kesehatan minus 4,15 persen (QtQ).
Baca Juga: Daftar Negara yang Terpuruk dalam Resesi Ekonomi
Baca Juga: Perekonomian Memburuk, 5 Negara berada di Jurang Resesi Ekonomi