TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aturan Upah Per Jam Omnibus Law Bisa Bahaya untuk Industri Padat Karya

Skema ini dinilai sulit diterapkan di Indonesia

Ilustrasi uang (IDN Times/Mela Hapsari)

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah perlu meninjau kembali aturan upah per jam yang masuk dalam omnibus law.

Permasalahannya, menurut Tauhid, aturan itu tidak dapat diterapkan pada jenis pekerjaan yang bersifat labor intensive atau padat karya. Padat karya adalah kegiatan proses produksi yang banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan dengan tenaga mesin.

"Karena apabila hal tersebut diterapkan maka akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidaknyamanan," kata Tauhid dalam diskusi INDEF, Sabtu (25/1).

1. Tidak ada pilihan bagi pekerja yang ingin gaji lebih tinggi

Buruh menolak RUU Omnibus Law karena dianggap menghilangkan hak hak buruh (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dengan adanya skema tersebut, Tauhid mengatakan akan menutup peluang pekerja yang ingin mendapatkan gaji lebih besar di perusahaan lain. "Umumnya pekerja yang bekerja dengan skema labor intensif tidak punya pilihan banyak untuk pindah pada pekerjaan lain yang memiliki upah lebih tinggi."

Baca Juga: Ditolak Buruh, Apa Saja Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?

2. Lebih baik untuk pekerjaan tertentu saja

Ilustrasi pabrik rokok. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

Tauhid menyarankan agar skema upah per jam dibuat dengan skema tertutup untuk jenis pekerjaan tertentu dan hanya diperuntukkan pada jenis pekerjaan dengan karakteristik tertentu, termasuk jenis pekerjaan baru.

"Jenis pekerjaan per jam ini artinya perlu dilampirkan dalam peraturan lebih teknis sehingga ada kepastian bagi pengusaha maupun pekerja sehingga tidak membingungkan buruh ataupun pengusaha itu sendiri," katanya.

Baca Juga: Ini Lho Poin-Poin Omnibus Law Cilaka yang Didemo Buruh

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya