TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ekonom Sebut Krisis Makin Sering Terjadi, Pemerintah Harus Apa? 

Krisis 1998, 2008, 2012, dan sekarang 2020 karena COVID-19

Ilustrasi penurunan nilai (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Aviliani, menyebut bahwa krisis keuangan yang terjadi di dunia kini semakin sering terjadi.

Aviliani mencatat, setelah krisis moneter pada tahun 1998, sepuluh tahun berselang terjadi krisis keuangan global yang terjadi di 2008. Selanjutnya terjadi krisis utang Eropa 2010-2012. Kini, dunia juga kembali mengalami krisis yang disebabkan COVID-19.

"Jadi kalau kita lihat sebenarnya krisis itu makin lama makin pendek nah ini yang kita harus aware semua pelaku ekonomi maupun masyarakat juga pemerintah," kata Aviliani kepada IDN Times untuk Indonesia Millennial Report 2021, Selasa (22/9/2020).

Jika waktu antar-krisis makin pendek, apa yang harus dilakukan kita semua khususnya pemerintah?

Baca Juga: 4 Hal Soal Tabungan Emas, Investasi Aman bahkan di Saat Krisis

1. Jangan terlalu sering buat Perppu

Ekonom Senior INDEF, Aviliani (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Aviliani menyebut, manajemen resiko Indonesia harus makin baik dan juga kerja sama antara pelaku usaha baik pemerintah, swasta mau pun masyarakat. Ia pun menyoroti pemerintah yang acap kali mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Itu tidak satu hal yang tidak baik karena apa? Keluarin Perppu ya sudah sekali, tapi sekalian jadi. Jangan menganggap ada masalah sedikit, itu gak baik," ujarnya.

Karena sering menggeluarkan Perppu, Aviliani menilai, persepsi pasar menjadi buruk dan kita bisa makin terpuruk karenanya.

"Jadi menurut saya sekarang ini juga sudah bagus kebijakannya dengan Perppu dan yang sudah menjadi undang-undang itu saya rasa sudah cocok ya hanya tinggal pada level birokrasi," katanya.

2. Perbaikan level birokrasi

Ilustrasi Uang (IDN Times/Arief Rahmat)

Selanjutnya yang harus diperbaiki adalah level birokrasi. Aviliani menyentil anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) di luar APBN , namun sayangnya birokrasi tidak berubah yang membuat ribet pencairan dan distribusi dana PEN.

"Jadi ketika ada anggaran harus ada masuk DIPA lagi. Dari DIPA nanti dianggarkan baru dikeluarkan jadi prosesnya bisa berbulan-bulan. Nah padahal kita berharap itu dengan kondisi krisis seperti ini, begitu pemerintah menyetujui anggaran itu dalam waktu sebulan sudah terima kasih naikkin saja masalah kita pada level implementasi pada level kebijakan tidak ada problem," ujar Aviliani.

3. Ambil keputusan harus fleksibel

Jokowi memimpin rapat terbatas pada Selasa (22/9/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Aviliani juga menyarankan agar pelaku ekonomi bisa mengambil kebijakan secara fleksibel. Namun bukan berarti melanggar standar operational procedure (SOP) yang ada.

"Tapi bagaimana justru birokrasi dan pelaku usaha itu makin fleksibel atau dinamis di dalam membuat kebijakan-kebijakan agar bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang bakal banyak risiko di masa depan," ucapnya.

Ia mengkritik bahwa birokrasi di Indonesia ingin semua aturan dijadikan undang-undang yang berujung pada ketidakluwesan dalam mengambil keputusan ketika berada dalam situasi yang genting.

Baca Juga: Sandiaga Uno Bocorkan Jurus untuk UMKM dalam Cegah Krisis

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya