TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Indonesia Rugi Jadi Negara Maju, Pemerintah Harus Berbuat Apa? 

Saran dari ekonom, mungkin bisa jadi pertimbangan pemerintah

Proyek revitalisasi Monas (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Jakarta, IDN Times - Perubahan status dari negara berkembang menjadi negara maju yang disematkan Amerika Serikat untuk Indonesia membawa konsekuensi tersendiri. Dalam perdagangan internasional, Indonesia justru dirugikan alih-alih diuntungkan. 

Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengatasi kerugian ini? 

"Ada beberapa saran untuk pemerintah dalam menyikapi perubahan status yang merugikan Indonesia ini," kata Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira saat dikonfirmasi, Senin (24/2).

Apa saja? 

Baca Juga: Status Negara Berkembang Indonesia Dicabut Amerika, Ini 3 Kerugiannya

1. Perluasan negara yang bekerja sama dengan Indonesia

(Presiden Joko Widodo dan Moon Jae-In bersalaman usai pertemuan bilateral) www.twitter.com/@jokowi

Pertama, Bhima menyarankan pemerintah harus meningkatkan kecepatan memperluas kerja sama dengan negara non tradisional di luar pasar Amerika Serikat (AS). 

"Negara di kawasan Eropa timur, Afrika Utara sampai Rusia masih memerlukan produk Indonesia," katanya.  

2. Pelaku usaha perlu lebih kreatif menciptakan produk

IDNTimes/Holy Kartika

Dengan menjadi negara berkembang, selama ini Indonesia menikmati fasilitas generalized system of preferences (GSP). Yakni fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Dengan tidak adanya 'potongan' bea masuk tersebut, produk Indonesia dipastikan akan sulit bersaing di pasar internasional.

Untuk mengatasi hal ini, Bhima menyarankan agar pelaku usaha perlu menaikkan daya saing, ciptakan produk inovatif dan fokus pada segmentansi pasar (niche market). "Ini perlu insentif sekaligus intelijen pasar yang kuat," katanya.  

3. Pemberian insentif belum cukup, perlu gebrakan lain

Ilustrasi (IDN Times/Mela Hapsari)

Meski pemberian insentif bisa menjadi solusi, Bhima mengatakan hal itu belum cukup. Ia menilai di paket kebijakan ke 3 ada diskon insentif yang diberikan berupa diskon tarif 30 persen untuk pemakaian listrik dari pukul 23.00 sampai 08.00.

Hal lain yang butuh solusi adalah ketergantungan impor untuk bahan baku. 

"Ini juga pelik di mana tarif bea masuk untuk bahan baku TPT yang berlaku di Indonesia mencapai sekitar 5 persen, belum ditambah dengan bea antidumping yang bisa mencapai 9 persen. Itu bikin daya saing kurang kompetitif," ujarnya. 

Baca Juga: AS Tetapkan RI Masuk Jadi Negara Maju, Mengapa?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya