TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenang Pidato Bung Karno soal Berdikari, Ekonomi yang Mandiri

Sukarno menentang imprealisme dan neokolonialisme

Para Republik saat ditangkap di kantor kepresidenan di Yogyakarta setelah Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948. Dari kiri ke kanan: Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Komandan Korps Pasukan Khusus Letnan Kolonel Van Beek, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Jakarta, IDN Times - Setahun sebelum genap 20 tahun kemerdekaan Indonesia, Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno menyinggung konsep berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk pertama kalinya. Dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso! (Tavip), Bung Karno memformulasikan konsep Trisakti, yakni: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagai bentuk revolusi suatu bangsa.

Konsep berdikari ini diperjelas pada 17 Agustus 1965. Pada hari tersebut, Soekarno memaparkan secara rinci gagasannya tentang berdikari. Bung Karno menekankan bahwa Indonesia bisa mandiri dan tidak bergantung terhadap bangsa lain, mulai dari dalam kehidupan politik, ekonomi, hingga kehidupan sosial budaya.

"Kita tidak cukup hanya berjiwa Nasakom–kita pun harus berjiwa Pancasila, berjiwa Manipol/Usdek (Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945), berjiwa Trisakti Tavip (Tahunvivere pericoloso yakni tahun di mana revolusi bergelora), berjiwa berdikari!" kata Bung Karno seperti dikutip dari konten digital Perpusatakaan Nasional pada Sabtu (8/8/2020).

Baca Juga: Kisah Sukarno dan 7 Penjara Tempat Pengasingannya

1. Berdikari menolak gagasan imprealisme dan neokolonialisme

Soekarno (kiri), Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In) berjabat tangan dengan Kepala Urusan Dalam Negeri Jepang untuk Pendudukan Hindia Belanda, Mayor Jenderal Moichiri Yamamoto, saat bertemu di Jakarta pada September 1944. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Dengan tegas, Bung Karno menolak gagasan imprealisme dan neokolonialisme. Dalam pidatonya, ia menyebut imprealismelah yang membutuhkan Indonesia, bukan kita membutuhkan kaum imprealis.

"Inilah keterangannya, kenapa sesudah kaum imperialis terlalu banyak cingcong dan pertingkah, aku serukan 'Go to hell with your aid!'. Sesudah dipersetan, mereka sekarang mendekat-dekat lagi dan menawar-nawarkan kembali 'bantuan' mereka. Tetapi saya tahu bahwa tidak ada 'bantuan' nekolim (neokolonialisme) yang cuma-cuma," katanya.

Soekarno melihat praktek neokolonialisme lebih berbahaya daripada kolonialisme model lama. Pertama, karena cara-cara maupun praktek-prakteknya belum cukup dikenal oleh takyat. Kedua, karena penjajah yang sesungguhnya, sering kali tidak jelas kelihatan.

"Sebab neokolonialisme itu adalah penjajahan by proxy, penjajahan by remote control, penjajahan 'dari jauh'," kata Bung Karno. Neokolonialisme masuk dalam bentuk kekuatan modal asing yang menguasai alias kapitalisme. 

2. Bung Karno menyebut sosialisme belum bisa diterapkan karena masih ada modal imperialis

Soekarno-Hatta (Website/kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id)

Bung Karno juga menyinggung paham sosialisme yang kala itu menjadi tren di dunia. Pada saat itu, revolusi Indonesia masih dalam tahap nasional-demokratis. Menurutnya, sosialisme belum bisa diterapkan karena masih ada modal asing di Tanah Air.

"Nanti akan datang ketikanya, yang Indonesia akan membangun sosialisme, yaitu apabila modal imperialis sudah habis dan pemilikan tanah kaum tuan-tanah sudah dibagi kembali kepada rakyat. Yang terang, dengan modal imperialis tidak mungkin kita membangun sosialisme," katanya.

3. Berdikari bukan berarti mengurangi kerja sama dengan negara lain

Presiden Sukarno terlihat akrab berbincang dengan PM Nikita Khrushchev saat ke Bogor (Dokumentasi Yayasan N.S Khruschev)

Bung Karno kembali menegaskan konsep berdikari ini bukan menolak atau mengurangi kerja sama dengan negara-negara lain, melainkan memperluas kerja sama internasional, terutama di antara sesama negara yang baru merdeka. 

"Yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan kepada imperialisme, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling-menguntungkan," ucapnya.

Langkah konkret berdikari terhadap negara lain ini diwujudkan dengan mengutus Wakil Perdana Menteri I sekaligus Menteri Luar Negeri RI saat itu, Subandrio disertai Menteri Penerangan dan dua orang Menteri Negara untuk mengunjungi empat negara Timur Tengah dan delapan negara Afrika dalam rangka pembinaan setiakawan Asia-Afrika.

Baca Juga: Kisah Sukarno Makan Satai Dekat Got Usai Diangkat Jadi Presiden

4. Berdikari tidak hanya dalam bidang ekonomi

Ilustrasi pertanian (IDN Times/Rochmanudin)

Meski utamanya berdikari ialah terkait penolakan terhadap kapitalisme asing, konsep yang ditawarkan Bung Karno ternyata jauh lebih luas dari pada itu. Konsep berdikari telah diterapkan Bung Karno dalam Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun sejak 1961. Lalu, pada 1963, Sukarno menyerukan kebijakan ekonomi dalam Dekon (Deklarasi Ekonomi).

Tidak hanya soal ekonomi, Sukarno pernah merinci konsep berdikari dalam tiga aspek yakni ekonomi, politik, dan budaya.

Untuk aspek ekonomi, Bung Karno menyebut Indonesia diberkahi dengan alam yang kaya, rakyat yang rajin. Tapi sayangnya hasil keringat rakyat dimakan tuan tanah, tengkulak, lintah darat hingga setan desa.

Dia menekankan pentingnya Indonesia memecahkan masalah sandang dan pangan. Ia pun mengancam, siapa pun yang menghalangi pencarian solusi masalah sandang dan panganpangan harus berhadapan dengan hukum.

"Barang siapa merintangi pemecahan masalah ini, dia harus dihadapkan ke depan mahkamah rakyat dan sejarah," kata Bung Karno.

Baca Juga: KAA Tidak Cuma soal Wilayah, Sukarno Ingatkan Ada Kolonialisme Modern

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya