Riset: Kenaikan Harga Rokok Tak Efektif Turunkan Jumlah Perokok
86,5 persen perokok tak berhenti merokok meski harga naik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB-UB) menyatakan bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Candra Fajri Ananda menilai kenaikan harga rokok bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok.
"Hal ini juga menunjukkan bahwa harga bukan merupakan faktor penyebab seseorang tetap merokok atau seseorang berhenti merokok. Kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah/terjangkau, salah satu alternatifnya adalah rokok ilegal," kata Candra dalam keterangan tertulis, Jumat (24/9/2021).
Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Peneliti: Tarif Tier Cukai Harus Disederhanakan
Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Petani Tembakau dan Cengkih Makin Babak Belur
1. 86,5 persen perokok tidak akan berhenti merokok meskipun harga rokok naik.
Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan, merujuk hasil kajian PPKE FEB-UB terkait pola perilaku konsumen produk industri hasil tembakau (IHT) menunjukkan 86,5 persen perokok tidak akan berhenti merokok meskipun harga rokok naik.
Selain itu, 58,3 persen perokok usia dewasa telah mengonsumsi rokok dalam periode yang lama, yakni lebih dari 6 tahun. "Hal itu terjadi karena merokok telah menjadi kebiasaan bagi 76,4 persen responden dengan periode merokok lebih 6 tahun," ujar Candra.
Hasil riset tersebut juga menunjukkan para perokok tersebut juga telah memulai konsumsi rokok sejak usia dini yakni 10 sampai 17 tahun.
“Kebiasaan merokok menjadi alasan utama seseorang tetap merokok di usia dewasa lebih atau sama dari 18 tahun," kata Candra menambahkan.
Baca Juga: Pengusaha Ramai-ramai Tolak Kenaikan Cukai Rokok Tahun Depan