TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Laporan YLKI: Bukalapak dan JD.ID Paling Banyak Dikeluhkan Konsumen

Konsumen susah komplain karena komunikasi dengan mesin

Ilustrasi e-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - E-commerce Bukalapak dan JD.ID paling banyak dikeluhkan konsumen di antara aplikasi marketplace digital lainnya. Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), konsumen yang mengeluhkan Bukalapak dan JD.ID sebanyak 17,6 persen.

Selain dua nama e-commerce itu, masih ada Shopee 14,7 persen, Tokopedia 8,8 persen, Harga Dunia 5,8 persen, dan OYO 5,8 persen. Untuk e-commerce bidang pariwisata, pengaduan Tiket.com sebanyak 5,8 persen. Kemudian, Akun Ig, Booking.com, Etokobagus, Lazada, Nusatrip, Qoo1, Landor, Shopintar, dan Super Bela masing-masing 2,9 persen.

1. Konsumen mengeluh mereka sulit komplain di aplikasi itu karena berkomunikasi dengan mesin

Ilustrasi e-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, rata-rata pengaduan terkait e-commerce adalah konsumen sulit komplain karena berkomunikasi dengan mesin. Menurut Tulus, untuk mempermudah pengaduan konsumen terhadap pelaku usaha, harus ada interaksi dengan manusia.

"Walaupun mesin bentuk dari efektivitas dari teknologi digital, tetapi akses pengaduan terhadap manusia yang bisa lebih dinamis harusnya dibuka. Kami meminta pemerintah untuk masing-masing marketplace itu menangani komplain yang melibatkan manusia. Ada SDM yang meng-handle karena mesin kan (benda) mati, tidak bisa diajak kompromi," jelas Tulus.

Baca Juga: E-Commerce Bisa Ramai-ramai Pindah ke Medsos, Mengapa?

2. Literasi konsumen juga masih rendah

Ilustrasi e-commerce. IDN Times/Arief Rahmat

Menurut Tulus, usulan untuk menyediakan tim penanganan pengaduan di masing-masing marketplace sudah sering disampaikan kepada para pelaku usaha. Saat ini, YLKI juga tengah mendiskusikan soal itu, salah satunya dengan pihak Bukalapak.

Tulus menilai, permasalahan tidak hanya di customer service yang tidak responsif, melainkan juga edukasi tentang penetrasi sistem. Literasi konsumen yang rendah pada akhirnya akhirnya menimbulkan masalah ketika bertransaksi.

"Di satu sisi gempuran digital ekonomi begitu tinggi dan masif, tetapi konsumen belum aware soal aspek-aspek yang harus dipahami," katanya.

Baca Juga: YLKI: Produk Jasa Finansial Paling Banyak Dikomplain Konsumen

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya