Ini Alasan Kenaikan Tarif Rokok Produksi Mesin dan Tangan Berbeda
Kenaikan tarif cukai rokok berlaku mulai 2022
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pemerintah secara resmi menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok dengan rata-rata 12 persen mulai tahun depan. Namun, kenaikan tersebut tidak dipukul rata terhadap semua jenis rokok.
"Untuk 2022 kenaikan rata-rata adalah 12 persen. Namun, untuk SKT (Sigaret Kretek Tangan) sesuai instruksi Bapak Presiden tidak boleh naik di atas lima persen sehingga kami dan Kementerian Tenaga Kerja meminta pada range 2,5 persen sehingga Bapak Presiden minta antara 2,5 hingga lima persen maka kita memutuskan pada level 4,5 persen," kata Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (15/12/2021).
Adapun mayoritas kenaikan dengan rata-rata 12 persen diberikan kepada rokok jenis SKM alias Sigaret Kretek Mesin.
"Kenaikan rata-rata 12 persen diabsorbsi oleh produksi rokok yang menggunakan mesin, sedangkan yang tangan dia kenaikannya di bawah lima persen atau 4,5 persen. Untuk SKT II bahkan hanya 2,5 persen, SKT III dan SKT IB 4,5 persen, serta SKT IA 3,5 persen," ucap Sri Mulyani.
Lantas, apa yang membuat pemerintah membedakan besaran kenaikan tarif CHT tersebut? Berikut ini beberapa alasan yang disampaikan dalam Raker tersebut.
Baca Juga: Rumitnya Lapisan Tarif Cukai Rokok di RI Bikin Konsumsi Rokok Naik
Baca Juga: Larangan Display Rokok Bikin Nestapa Industri Tembakau dan Ritel
1. Industri SKM mampu menghasilkan banyak rokok dalam waktu cepat, tapi minim pekerja
Keputusan pemerintah menaikkan tarif CHT pada jenis SKM dan SPM lebih tinggi dari SKT tak terlepas dari kemampuan industri tersebut dalam memproduksi rokok.
Menurut Sri Mulyani, satu mesin yang digunakan pada industri dua komoditas tersebut dapat menghasilkan ratusan juta hingga miliaran rokok dalam waktu yang efisien tanpa harus mempekerjakan banyak pekerja.
"Inilah yang menjadi fokus kita karena tenaga kerjanya kecil dan terutama untuk ekspor konten tembakau lokalnya sangat kecil sehingga untuk dua komoditas ini mungkin kita bisa pilihkan kebijakannya nggak terlalu menekan karena aspek tenaga kerja dan aspek petani tembakau tidak terlalu besar," kata dia.