TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kopi Tersembunyi di Sentul, Mendunia dalam Keterbatasan

Gak nyangka, di Sentul ada biji kopi yang berkualitas

Petani Kopi Gunung Wangun Dua Babakan Madang, Entib, berhasil menempati posisi lima besar festival kopi di Prancis. (IDN Times/Satria Permana)

Bogor, IDN Times - Bicara Sentul, Kabupaten Bogor, terlintas di pikiran kita adalah lokasi wisata yang fancy, mewah, dan harga makanan yang mahal. Padahal, ternyata di dekat Sentul, ada potensi yang tersembunyi dari warga lokalnya.

IDN Times menemukan jenis kopi yang selama ini belum terjamah dan dikenal luas oleh publik. Kopi Gunung Wangun Jaya, ditanam di kawasan Desa Karang Tengah, Babakan Madang, oleh sekelompok petani.

Hingga kini, belum banyak yang mengenal kopi Gunung Wangun. Padahal, ini merupakan kopi asli Bogor.

Kopi yang ditanam di sini berjenis robusta. Maklum, karena ketinggiannya hanya berkisar 600 hingga 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebenarnya, ada pula kopi arabika yang ditanam, namun jumlahnya tidak banyak.

"Ini kopi asli Bogor. Kami di sini mengembangkan kopi sejak 1990-an. Baru benar-benar serius, di 2017," kata Entib, Ketua Kelompok Tani Putra Harapan, kepada IDN Times, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Dulu Tidur di Pasar, Kini Jadi Juragan Kopi

1. Masuk lima besar di Festival Kopi Prancis

Petani Kopi Gunung Wangun Dua Babakan Madang, Entib, berhasil menempati posisi lima besar festival kopi di Prancis. (IDN Times/Satria Permana)

Entib menyatakan kopi Gunung Wangun sebenarnya sudah pernah dilombakan di sejumlah festival berkelas nasional dan internasional. Salah satu pencapaian kopi Gunung Wangun adalah berhasil masuk ke peringkat lima besar dalam festival di Prancis pada 2019 lalu.

Awalnya, diceritakan Entib, kopi miliknya dibawa ke festival nasional di Yogyakarta. Itu terjadi pada 2018 lalu.

Dalam festival tersebut, kopi Gunung Wangun masuk ke 10 besar. Alhasil, kopi yang ditanamnya mulai mendapat perhatian dari sejumlah otoritas, hingga akhirnya didorong maju ke festival di Prancis.

"Sekitar 2019, kopi Gunung Wangun, waktu itu yang robusta, masuk ke festival di Prancis. Alhamdulillah, tembus lima besar. Dari situ, saya mulai percaya diri. Mulai serius tanam kopi," ujar Entib.

2. Kapasitas produksi masih kecil

Petani Kopi Gunung Wangun Dua Babakan Madang, Entib, berhasil menempati posisi lima besar festival kopi di Prancis. (IDN Times/Satria Permana)

Meski begitu, kapasitas produksi kopi di Gunung Wangun belum besar. Entib mengaku, satu bulan hanya bisa menjual dua kuintal kopi.

Jumlah itu terbilang sangat kecil untuk industri kopi. Apalagi, masa panen kopi tak panjang. Proses penanaman hingga panen, cukup lama. Setidaknya, kopi robusta harus menunggu waktu selama delapan hingga 11 bulan untuk bisa dipanen.

"Kopi ini kan masa tumbuhnya lumayan lama ya, tiga bulan pasti kosong. Jadi, kalau mau dibilang, tiga bulan efektifnya buat dijual. Makanya, kami harus pintar-pintar dengan mengakalinya lewat tanaman hortikultura. Tumpang sarinya atau tanaman selanya bisa kami jual. Istilahnya, biar dapur tetap ngebul," kata Entib.

Baca Juga: Praktisnya QRIS dan Tantangan Mendobrak Pola Pikir

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya