TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bos Indofood Ungkap Tantangan Ketahanan Pangan Negara Berkembang

Dibahas dalam World Economic Forum

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Axton Salim dalam diskusi panel First Movers Coalition for Food (FMC4Food). (dok. Indofood)

Jakarta, IDN Times - Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) Axton Salim mengungkapkan bahwa ketahanan pangan menjadi tantangan utama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dia mencontohkan, di Indonesia, akses terhadap makanan yang cukup dan berkualitas masih sulit.

“Ketahanan pangan merupakan tantangan utama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana akses terhadap makanan yang cukup dan berkualitas masih sulit. Keterjangkauan adalah kuncinya,” kata dia dalam diskusi panel First Movers Coalition for Food (FMC4Food), dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (20/1/2024).

Menurutnya, untuk mencapai keterjangkauan pangan yang memadai bagi masyarakat memerlukan inovasi dalam produksi pangan. Dia menekankan pentingnya mengembangkan solusi inovatif tanpa menambah beban biaya pada konsumen.

“Sehingga penting sekali untuk terus berinovasi dalam memproduksi pangan tanpa membebani biaya pada konsumen,” ungkapnya dalam dalam diskusi yang menjadi bagian dari agenda World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) ke-54 di Davos, Swiss.

Baca Juga: Pakar Pertanian Apresiasi Kebijakan Pangan dan Pertanian di Era Jokowi

1. Perbaikan sistem pangan harus dilakukan secara menyeluruh

Ilustrasi areal persawahan di daerah Bantul, Yogyakarta. (IDN Times/Herka Yanis)

Axton memaparkan, sebagai perusahaan Total Food Solutions, pihaknya punya komitmen untuk menanggulangi hambatan dan tantangan dalam seluruh sistem pangan. Mereka melibatkan diri dalam proses produksi makanan dari awal hingga akhir, dan aktif menerapkan inisiatif berkelanjutan dengan fokus rendah karbon di seluruh rantai nilai (value chain), mulai dari tahap produksi hingga distribusi.

“Termasuk dengan mengimplementasikan inisiatif low-carbon pada seluruh value chain, dari hulu ke hilir,” ujarnya.

Grup agribisnis Indofood, di hulu produksi, menerapkan praktik agrikultur yang berkelanjutan untuk mendukung target pemerintah Indonesia mencapai Net Sink pada 2030. Mereka berfokus pada kebijakan zero deforestation and degradation of HCV, zero new planting pada lahan gambut, zero burning untuk pembukaan lahan, dan penanaman kembali.

Selain itu, mereka mempertahankan area kawasan bernilai konservasi tinggi seluas 25.000 ha dan menggunakan pupuk organik sebanyak 84 persen untuk mendukung keberlanjutan lingkungan.

“Di tingkat agribisnis yang lebih kecil, kesejahteraan petani harus diutamakan. Seperti yang telah kami lakukan dengan petani kentang di Indonesia. Yang kami lakukan adalah dengan menyediakan bibit yang baik, mengedukasi para petani untuk mengimplementasikan praktik pertanian yang baik dengan begitu produktivitasnya meningkat, meminimalkan penggunaan pupuk, dan saya rasa ini dapat meningkatkan ekonomi petani,” tutur Axton.

 

Baca Juga: Jokowi: Awal 2024, Pemerintah Salurkan Bantuan Pangan ke 22 Juta KPM

2. Dibutuhkan inovasi dan teknologi untuk menjalankan pertanian berkelanjutan

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Axton Salim dalam diskusi panel First Movers Coalition for Food (FMC4Food). (dok. Indofood)

CEO PepsiCo, Ramon Laguarta mengungkapkan terdapat bukti empiris yang menunjukkan bahwa beralih dari pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan memiliki potensi mengerek profitabilitas dengan meningkatkan produktivitas dan mengurangi beban biaya.

Meskipun demikian, adopsi praktik pertanian berkelanjutan memerlukan kesabaran dan investasi jangka panjang untuk melihat perbaikan dalam aspek profit dan kerugian.

“Proses transisi bukan sesuatu yang instan tapi memerlukan waktu,” ujarnya.

Global CEO JBS, Gilberto Tomazoni mengungkapkan bahwa teknologi dapat berperan dalam mencapai keseimbangan antara pengurangan emisi dan keberlanjutan ekonomi dalam industri peternakan.

Perusahaan telah menggunakan teknologi untuk menghasilkan suplemen bagi sapi, yang secara efektif mengurangi emisi gas rumah kaca dari peternakan.

“Di tahun pertama, kami berhasil mengurangi emisi, namun menaikkan harga daging. Pada tahun berikutnya dengan jumlah sapi yang lebih banyak, hasilnya berbeda,” ujar Gilberto.

"Emisi berkurang 90 persen dan tidak mempengaruhi harga jual daging. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan inovasi dan teknologi berdampak pada pengurangan emisi," sambung dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya