TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Erick Ungkap Uni Emirat Arab Minat Garap Food Estate di Indonesia

Perusahaan raksasa UEA berniat investasi

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir saat menghadiri Round Table Meeting UEA-Indonesia di Hotel Four Season, Jakarta, Kamis (1/2/2024). (IDN Times/Trio Hamdani)

Jakarta, IDN Times - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah membahas kerja sama pada proyek food estate dengan Uni Emirat Arab (UEA).

Lebih lanjut, UEA telah membawa perusahaan besar bernama Elite Agro untuk berinvestasi dalam pengembangan food estate di Indonesia. Hal itu menjadi upaya kerja sama dalam mengatasi keamanan pangan dan mendukung investasi di sektor pertanian.

"Nah food estate salah satu yang tadi didiskusikan dengan UEA. Bahkan mereka sudah membawa perusahaan besarnya, Elite Agro yang mau investasi di food estate kita,” kata Erick saat ditemui di Hotel Four Season, Jakarta, Kamis (1/2/2024).

Baca Juga: Cak Imin Janji Langsung Stop Proyek Food Estate jika Menang Pilpres

1. Pembangunan food estate memerlukan waktu yang tidak sebentar

Panen jagung di food estate Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng). (dok. Kementan)

Erick menjelaskan, pembangunan food estate tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Dia memberikan contoh mengenai penanaman bibit, misalnya bibit gula atau padi, yang memerlukan waktu 6 bulan untuk mencari bibit yang sesuai dengan kondisi lahan.

Selanjutnya, siklus pertumbuhan dari penanaman hingga hasil yang diharapkan memerlukan waktu 1 hingga 2 tahun. Oleh karena itu, proyek food estate membutuhkan waktu minimal 4-5 tahun sebelum dapat melihat hasil yang diinginkan.

“Jadi, food estate itu perlu waktu minimal 4-5 tahun, baru kita lihat hasilnya. Dan dari saat awalnya harus benar,” sebutnya.

2. Indonesia tidak boleh terus-menerus impor pangan

Beras impor dari Vietnam dan Thailand penuhi kebutuan di Kalbar. (IDN Times/Teri).

Erick menyatakan pembahasan terkait sektor pangan bersifat sensitif, namun dia ingin menyoroti realitas bahwa harga pangan saat ini mengalami kenaikan yang signifikan.

Dia menunjukkan bahwa berbagai faktor geopolitik, seperti konflik di Gaza, perang di Ukraina dengan Rusia, dan persoalan di Laut Merah, berkontribusi pada ketidakstabilan harga pangan. Lebih lanjut, dia menyebutkan bahwa peningkatan jumlah penduduk juga menjadi tantangan.

"Nah kita ini masih banyak impor. Padi impor, gula impor. Tidak mungkin kita mendiamkan negara sebesar ini terjebak hanya impor-impor pangan. Nah itulah yang harus kita satukan bagaimana petani dijaga, ya kan, korporasi didatangkan, market dibesarkan,” sebutnya.

Baca Juga: Apa Itu Food Estate yang Jadi Bahan Debat Cawapres?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya