TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Rupiah Berotot Seharian Lawan Dolar AS, Ini Penyebabnya

Rupiah menguat 0,72 persen

Ilustrasi Dollar dan Rupiah (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Jakarta, IDN Times - Pergerakan nilai tukar atau kurs rupiah ditutup menguat pada level Rp14.966 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis, (13/7/2023).

Mata uang Garuda menguat 109 poin atau plus 0,72 persen dari perdagangan sebelumnya. Sementara, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah ke posisi Rp14.978 per dolar AS pada perdagangan sore ini.

Baca Juga: 3 Jurus Bank Indonesia Demi Stabilkan Nilai Tukar Rupiah

1. Rupiah menguat karena inflasi AS melemah

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan penguatan rupiah didorong oleh melemahnya data inflasi AS.  Hal ini  pun mendorong adanya perkiraan bahwa The Fed menjadi kurang agresif. 

"Kondisi ini, kemungkinan akan menarik lebih banyak kenaikan suku bunga oleh bank sentral dalam waktu dekat, dengan pasar secara luas memperkirakan kenaikan setidaknya 25 basis poin dalam pertemuan akhir Juli," ucapnya. 

 

Baca Juga: Inflasi AS Turun ke 4 Persen, Terendah dalam 2 Tahun Terakhir

2. Pelemahan ekonomi China berdampak ke RI

Pembukaan lockdown di China sejak awal tahun, kata Ibrahim, belum berdampak positif pada kinerja pemulihan ekonomi Negeri Tirai Bambu.

Padahal banyak negara mitra dagang China, termasuk Indonesia mengharapkan perekonomian China segera pulih untuk mendorong pertumbuhan global.

"Namun apa yang diharapkan tidak sesuai, justru kondisinya malah berkebalikan. Ekonomi China hingga saat ini masih lesu," ucapnya.

Lesunya ekonomi China, tercermin dari pelemahan mata uang China (CNY) yang mengalami depresiasi sepanjang tahun ini. Selain itu, Indeks Purchasing Manager (PMI) manufaktur China pada Juni 2023 menjadi 50,5, melemah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9. 

Perlambatan ekonomi China pun berpotensi berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia, karena eratnya kegiatan ekonomi antara kedua negara. 

"Estimasi sensitivitas pertumbuhan ekonomi China terhadap perekonomian Indonesia sebesar 0,39 persen, yang berarti perlambatan ekonomi China sebesar 1 persen berpotensi memperlambat ekonomi Indonesia sebesar 0,39 persen. Ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan mitra dagang lainnya, sebagai contoh Amerika Serikat," ucap Ibrahim. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya