TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sri Mulyani Beberkan Tantangan Ekonomi Global Pasca COVID, Apa Saja?

Tensi geopolitik ubah arah kebijakan berbagai negara

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Jakarta, IDN Times - Kementerian Keuangan, mengungkapkan ekonomi global menghadapi empat tantangan besar di tahun ini dan mendatang. Tantangan yang semakin kompleks ini muncul, disaat pandemik COVID-19 sudah berakhir.

Sebagaimana diketahui, pada 5 Mei 2023, organisasi kesehatan dunia (WHO), telah mengumumkan berakhirnya status COVID-19, sebagai kejadian darurat kesehatan publik.

"Berakhirnya pandemik COVID-19 bukan berarti, tantangan yang akan kita hadapi ke depan menjadi semakin ringan. Perkembangan dinamika global yang sedemikian cepat pasca pandemik COVID-19, justru menciptakan kompleksitas yang berat dalam beberapa tahun ke depan," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna, Jumat (19/5/2023).

Baca Juga: Sri Mulyani Targetkan Tekor APBN 2,16-2,64 Persen di 2024

1. Empat tantangan besar yang dihadapi perekonomian global

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Tantangan pertama berkaitan dengan ketegangan geopolitik menjadi tantangan paling berat yang tengah dihadapi global saat ini.

"Meningkatnya tensi geopolitik ini, merubah signifikan arah kebijakan ekonomi negara-negara besar menjadi lebih inward looking. Akibatnya, dunia semakin terfragmentasi, tren globalisasi berubah menjadi deglobalisasi,"ungkap Menkeu.

Ia menjelaskan, fenomena ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2017, ketika AS menerapkan kebijakan untuk mengembalikan sektor manufaktur ke dalam wilayahnya (re-shoring). Kebijakan ini pun, memicu perang dagang antara AS dan China.

"Sejak saat itu, tensi perang dagang (trade war) AS-China terus berlangsung dan menimbulkan ketidakpastian yang tinggi. Perang di Ukraina sejak awal tahun 2022 semakin mempertajam polarisasi dan fragmentasi geopolitik global," jelasnya.

Baca Juga: 9 Potret Menteri Sri Mulyani dan Suami di Korea, Mesra Seperti Drakor!

2. Kerja sama ekonomi jadi terkotak-kotak

ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)

Kondisi ketegangan geopolitik, menyebabkan kerja sama ekonomi dan
kemitraan strategis semakin terkotak-kotak (fragmented) dan sesuai kedekatan aliansinya (friendshoring). Akibatnya, aktivitas perdagangan dan aliran investasi global melambat.

Negara-negara berkembang, kata Sri Mulyani, banyak bergantung pada pasar ekspor, sedangkan aliran modal luar negeri terkena dampak yang signifikan.

"Fragmentasi geopolitik juga telah memicu, fenomena dedolarisasi yang juga akan berdampak besar, baik pada perekonomian AS maupun stabilitas ekonomi global," ujarnya. 

Kedua, cepatnya perkembangan teknologi digital, kata Menkeu membawa manfaat bagi kehidupan manusia berupa meningkatnya efisiensi dan perluasan skala produksi.

Namun, perubahan teknologi informasi juga menghadirkan tantangan, berupa penghematan tenaga kerja manusia (labor saving) secara masif, persoalan privasi, dan keamanan siber (cyber security).

"Cepatnya perkembangan digitalisasi dapat menjadi ancaman nyata bagi pasar tenaga kerja nasional yang masih didominasi tenaga kerja tidak terampil (unskilled-workers) dengan pendidikan rendah," tuturnya.

Menurut Menkeu, apabila perkembangan teknologi informasi, tidak diimbangi dengan keahlian tenaga kerja, maka tingkat pengangguran akan meningkat signifikan, terutama pada kelompok tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan rendah.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya