TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ada Ancaman Beban PMN di Klausul RUU EBT

Masalah konsumsi listrik EBT ada di harga

Petugas PLN siaga menjaga keandalan jaringan listrik (dok. PLN)

Jakarta, IDN Times - Skema power wheeling yang merupakan salah satu klausul Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) masih menuai kritik. Ekonom Drajad Wibowo membeberkan ada ancaman beban Penyertaan Modal Negara (PMN) jika klausul itu diloloskan.

Skema power wheeling berkaitan dengan rencana pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Dalam klausul itu, pembangkit listrik swasta bisa mendapat kewenangan menjual listrik ke publik.

Drajad mengatakan, saat ini negara sedang menghadapi tantangan kelebihan pasokan atau oversupply listrik karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Bahkan, menurut Drajad hingga 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 gigawatt (GW). Apalagi, dalam skema power wheeling, ada skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta.

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad dikutip dari keterangan resmi, Senin (23/1/2023).

Baca Juga: Anggota DPR Tolak Klausul RUU EBT soal Swasta Bisa Jual Listrik

Baca Juga: RUU EBT Tuai Kritik, Ada Klausul yang Dinilai Bisa Rugikan Publik

1. Potensi beban kelebihan pasokan listrik bisa mencapai Rp21 triliun

ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Drajad, ada potensi beban akibat oversupply yang bisa mencapai Rp21 triliun, bahkan bisa meningkat hingga Rp28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling.

Pemerintah sendiri menggadang-gadang skema tersebut untuk pengembangan EBT di Indonesia. Namun, menurutnya skema power wheeling bukan solusi efektif.

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batu bara. Batu bara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

Baca Juga: Di Paripurna, DPR Tagih DIM untuk RUU EBT dari Menteri ESDM

2. Perlu upaya besar buat tingkatkan minat masyarakat mengkonsumsi listrik dari pembangkit EBT

Ilustrasi harga listrik (IDN Times/Arief Rahmat)

Drajad menuturkan saat ini harga listrik batubara hanya sekitar 3-5 sen dolar AS per kWh. Sementara untuk EBT, harganya mencapai 6-7 sen dolar AS/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan 7-8 sen dolar AS/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan, untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya lebih tinggi lagi, antara 7-13 sen dolar AS/kWh, dan umumnya di kisaran 11-12 sen dolar AS/kWh.

Melihat kondisi itu, tidak mudah untuk mengajak masyarakat mengkonsumsi listrik dari pembangkit EBT. Oleh sebab itu, dia kembali menegaskan, untuk meningkatkan konsumsi listrik EBT, solusinya adalah harga yang perlu dipangkas, bukan power wheeling.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya