TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Banting Tulang hingga Lansia, Bertahan Hidup di Tengah Krisis Lebanon

Para lansia tidak dapat mengambil tabungan hidupnya di bank

Bendera kebangsaan Lebanon. unsplash.com/@christelle_silentwarrior

Jakarta, IDN Times - Hekmat Skaff duduk sepanjang hari di belakang konter toko kelontongnya di Achrafieh, distrik pusat Beirut. Dia hapal harga semua barang dan saat klien keluar masuk ia menambahkannya di selembar kertas. Di usia 80 tahun, dia tidak bisa berhenti bekerja.

"Saya lelah bekerja selama 60 tahun, dan semua uang saya hilang. Saya telah menaruh banyak uang di bank, dan sekarang semuanya hilang," katanya kepada Middle East Eye.

Seperti kebanyakan warga Lebanon, Skaff tidak memiliki akses ke skema pensiun nasional yang hanya diperoleh oleh beberapa profesi sektor publik. Ia bergantung pada tabungan hidupnya untuk menjalani hari-hari terakhirnya.

Namun sejak awal krisis keuangan Lebanon di akhir 2019 lalu, tabungan Skaff tertahan di bank. Bank tidak lagi memiliki cukup dolar untuk membayar deposan. Bank juga memberlakukan kontrol modal informal yang memungkinkan pelanggan mengambil hanya dalam jumlah terbatas dengan harga nilai tukar didiskontokan yang tinggi.

Baca Juga: Warga Lebanon Bingung Gegara Perubahan Zona Waktu: Ini Negeri Ajaib!

Baca Juga: IMF: Lebanon Terancam Hiperinflasi

1. Mata uang mengalami penurunan drastis 

Ilustrasi uang (Unsplash.com/Sharon McCutcheon)

Mata uang Pound Lebanon telah mengalami penurunan dan meluncur dari 1.500 pound per dolar AS menjadi sekitar 94.000 per dolar pada Mei 2023. Puncaknya pada bulan maret yang mencapai  100 ribu pound per dolar.

Pada akhir 2021, PBB  memperkirakan  bahwa hampir setengah dari populasi Lebanon telah jatuh miskin sejak 2019.

"Rencana saya adalah bepergian, menghirup udara di berbagai negara, mengunjungi kerabat," kata Skaff. Namun sebaliknya, dia perlu terus mencari nafkah selama dia bisa secara fisik.

Sama seperti Skaff, puluhan ribu orang tua Lebanon yang telah menabung di seluruh hidup mereka kini mendapati diri mereka tidak memiliki apa-apa sama sekali.

Mereka yang tidak bisa kembali bekerja bergantung pada niat baik orang lain untuk bertahan hidup. Menurut PBB, 80 persen warga Lebanon berusia 65 tahun ke atas bergantung pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau dukungan keluarga untuk kebutuhan sehari-hari, sementara beberapa terpaksa mengemis di jalanan.

Baca Juga: AS Kucurkan Uang Rp1,1 Triliun untuk Gaji Tentara dan Polisi Lebanon

2. Bantuan LSM 

Bendera Lebanon berkibar. (Unsplash.com/Charbel Karam)

Sementara itu, di distrik populer Ain el-Remmaneh, Colette Abou Mechreq, warga berusia 64 tahun duduk di rumah sepanjang hari. Ketika dia berhenti bekerja beberapa tahun lalu karena masalah kesehatan, mantan sekretaris itu diberi pesangon sebesar 15 juta pound Lebanon.

Pada saat itu, nilai tersebut setara dengan 10 ribu dolar AS. Tetapi, dengan devaluasi mata uang, sekarang hanya bernilai 150 dolar.

"Saya tidak pernah berpikir akan jatuh serendah ini. Dulu saya hidup dengan baik. Saya tidak mengerti apa yang terjadi," ungkapnya.

Abou Mechreq tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak. Untuk membayar tagihan, dia bergantung pada saudara laki-laki dan perempuannya.

"Mereka membantu saya, tetapi dengan krisis juga sangat sulit bagi mereka, mereka memiliki keluarga sendiri untuk diurus dan mereka juga semakin tua. Sulit karena saya merasa seperti beban," tambahnya.

Dukungan keluarga masih belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan Abou Mechreq. Dua kali sehari, sebuah LSM lokal bernama Amel membawakannya makanan hangat dan menjadwalkan kunjungan dokter rutin ke rumahnya.

"Jika bukan karena LSM itu, saya tidak akan pernah menemui dokter. Tuhan akan menjadi dokter saya," katanya.

Di lingkungan itu, banyak orang tua berada dalam situasi yang sama dengan Abou Mechreq. Mereka tidak memiliki asuransi kesehatan dan tidak mampu membayar perawatan kesehatan.

Ahli geriatri Amel, Roy Melhem, mencoba memeriksa mereka sesering mungkin.

"Karena krisis, banyak anak muda pindah kerja ke luar negeri dan meninggalkan orang tua mereka sendirian. Uang yang mereka kirimkan kembali hanya menutupi biaya minimal tetapi tidak untuk perawatan medis," kata Melhem.

"Untuk pengobatan dan beberapa produk kebersihan, mereka bergantung pada kami. Kami melihat semakin banyak orang lanjut usia yang menderita karena mereka diisolasi," tambahnya.

Verified Writer

Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya