Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Anggota DPR Nilai RUU Pangan Mendesak Dibahas, Kritik Masalah Impor

Ilustrasi beras (dok. Bulog)
Intinya sih...
  • Johan Rosihan menegaskan perlunya revisi Undang-Undang Pangan untuk memperkuat kedaulatan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan impor.
  • Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dinilai gagal menekan dominasi produk impor, tidak memberikan sanksi tegas bagi praktik impor berlebih, dan tidak memperkuat pasal 33 UUD 1945 tentang penguasaan negara atas sumber daya alam.
  • Johan juga menyarankan reformasi kelembagaan dengan membentuk Kementerian Pangan sebagai institusi teknis yang menggabungkan fungsi Bulog dan Bappenas dalam urusan pangan serta menetapkan desain empat pilar strategis ketahanan pangan.

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Pangan demi memperkuat kedaulatan pangan nasional dan menanggulangi ketergantungan impor yang dinilainya semakin akut.

Johan mengkritik keras lemahnya arah kebijakan pangan nasional dan dominasi pasar impor yang dinilai menggerus produksi dalam negeri.

“Kalau Bung Karno bilang, pangan itu hidup matinya sebuah bangsa. Tapi undang-undang kita belum mampu menjamin ketahanan, apalagi kedaulatan pangan,” ujar Johan, Rabu (21/5/2025).

1. Urusan pangan tak boleh diserahkan ke mekanisme pasar

Ilustrasi beras (dok. Bulog)

Legislator Fraksi PKS itu, Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 gagal menekan dominasi produk impor. UU tersebut juga tak memberikan sanksi tegas bagi praktik impor berlebih yang merugikan petani lokal.

Ia menyebut RUU Pangan harus berangkat dari prinsip konstitusional, yakni perlindungan rakyat dan penguasaan negara atas sumber daya pangan.

“Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar semata. Negara harus hadir, memimpin, dan menjamin bahwa rakyat terlindungi dalam urusan pangan,” kata dia.

2. Tiga kelemahan UU Pangan saat ini

Gudang penyimpanan beras milik Bulog Jabar. IDN Times/Istimewa

Lebih jauh, Johan mengurai tiga kelemahan utama dalam UU Pangan 2012: lemahnya orientasi pada produksi nasional, tiadanya sanksi untuk impor yang berlebihan, dan tidak adanya penguatan terhadap pasal 33 UUD 1945 tentang penguasaan negara atas sumber daya alam.

Ia juga menyoroti lemahnya kebijakan cadangan pangan. Bulog hanya diberi kuota menyerap 3 juta ton dari total produksi 19 juta ton. Ia lantas menanyakan nasib 16 juta ton produksi petani selama ini. Johan juga mempertanyakan klaim pemerintah soal penghentian impor beras. 

"Kalau benar kita bisa mempengaruhi harga beras dunia, mengapa harga dalam negeri masih tinggi?” kata dia.

3. Menuju swasembada nyata, bukan retorika

Gudang beras bulog di Aceh. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

RUU Pangan, kata Johan, harus menegaskan batasan kuantitatif dan prosedur ketat dalam kebijakan impor. Ia menyerukan perumusan strategi swasembada pangan yang bukan hanya wacana politik, tetapi langkah berdaulat dalam menghadapi krisis global, konflik geopolitik, dan perubahan iklim.

Ia juga menyarankan adanya reformasi kelembagaan, termasuk pembentukan Kementerian Pangan sebagai institusi teknis yang menggabungkan fungsi Bulog dan Bappenas dalam urusan pangan. 

“Tapi Bulog harus tetap ada dan diperkuat sebagai instrumen pemerintah,” ujarnya.

Dalam pandangannya, Johan mengusulkan desain besar empat pilar strategis ketahanan pangan, yakni produksi yang berdaulat dan berkelanjutan distribusi yang adil dan terkendali, konsumsi yang bergizi dan berbasis lokal, serta cadangan yang tangguh dan mandiri. 

Ia juga mendorong agar penetapan lahan pertanian berkelanjutan menjadi prioritas nasional dan terintegrasi dalam tata ruang wilayah.

“Pangan adalah urusan hidup mati bangsa. Negara harus berada di depan. Ini bukan sekadar kebijakan, tapi mandat konstitusi,” kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dheri Agriesta
EditorDheri Agriesta
Follow Us