Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kesepakatan kerjasama (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi kesepakatan kerjasama (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Intinya sih...

  • AS dan Australia dorong peningkatan produksi nasional: China memiliki cadangan tanah jarang terbesar, sementara AS dan Australia berupaya meningkatkan produksi dalam upaya mengurangi ketergantungan pada China. Kesepakatan senilai miliaran dolar AS untuk proyek penambangan dan pengolahan mineral kritis.

  • AS dan Australia perkuat keamanan rantai pasokan: Kolaborasi untuk memetakan cadangan mineral baru, meningkatkan program daur ulang, serta mencegah penjualan bahan strategis ke pihak ketiga yang berpotensi mengancam keamanan nasional.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menandatangani perjanjian di Gedung Putih pada Senin (20/10/2025) untuk memperkuat pasokan mineral kritis dan tanah jarang. Bahan-bahan tersebut penting bagi produksi ponsel pintar, baterai mobil listrik, hingga perlengkapan militer.

Langkah ini diambil guna mengurangi ketergantungan terhadap China, yang selama ini mendominasi rantai pasok global.

“Dalam waktu sekitar satu tahun dari sekarang, kita akan memiliki begitu banyak mineral kritis dan tanah jarang sehingga kalian tidak akan tahu apa yang harus dilakukan dengan mereka,” kata Trump, dilansir dari Fox Business.

Pernyataan itu menandai ambisi besar AS dalam memperkuat kendali terhadap pasokan bahan mentah strategis.

Perjanjian tersebut menetapkan investasi masing-masing 1 miliar dolar AS (setara Rp16,6 triliun) dari kedua negara dalam enam bulan ke depan untuk mendukung proyek penambangan dan pengolahan mineral seperti neodymium dan litium. Kesepakatan juga mengatur harga dasar bagi produk mineral tersebut agar perusahaan tambang Barat tetap bersaing, mengingat China menguasai 90 persen kapasitas pengolahan tanah jarang dunia.

1. AS dan Australia dorong peningkatan produksi nasional

Enam oksida unsur tanah jarang, yaitu praseodimium, serium, lantanum, neodimium, samarium, dan gadolinium. (Peggy Greb, US department of agriculture, Public Domain, via Wikimedia Commons)

Data dari US Geological Survey (USGS) menunjukkan China memiliki cadangan tanah jarang terbesar, sekitar 44 juta ton dengan produksi 270 ribu ton pada 2024. Australia memiliki 5,7 juta ton dan menghasilkan 13 ribu ton, sementara AS menyimpan 1,9 juta ton dengan produksi 45 ribu ton. Pembatasan ekspor dari China telah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kestabilan rantai pasok global.

Dilansir dari BBC, Albanese menggambarkan kesepakatan ini sebagai rencana senilai 8,5 miliar dolar AS (setara Rp140,8 triliun) untuk proyek-proyek yang segera berjalan demi memperkuat kapasitas penambangan dan pengolahan di negaranya.

Ia mengatakan, perjanjian tersebut akan membawa kemitraan antara AS dan Australia ke tingkat yang lebih tinggi.

Dalam waktu bersamaan, AS menyiapkan dana 2,2 miliar dolar AS (setara Rp36,4 triliun) melalui Export-Import Bank guna mendukung perusahaan seperti MP Materials dan Lithium Americas. Sebagai imbalan, pemerintah AS akan memperoleh kepemilikan saham di proyek terkait.

Sementara itu, perusahaan Lynas Rare Earths asal Australia yang tengah membangun fasilitas di Texas dengan bantuan Departemen Pertahanan AS, mencatat kenaikan harga saham seiring potensi keuntungan dari kerja sama ini.

2. AS dan Australia perkuat keamanan rantai pasokan

ilustrasi area tambang (pexels.com/Tom Fisk)

Isi kesepakatan mencakup kolaborasi untuk memetakan cadangan mineral baru, meningkatkan program daur ulang, serta mencegah penjualan bahan strategis ke pihak ketiga yang berpotensi mengancam keamanan nasional. Langkah-langkah ini dirancang untuk menjaga stabilitas pasokan bagi sektor teknologi dan pertahanan kedua negara.

Selain itu, perjanjian ini juga menyederhanakan proses perizinan bagi proyek tambang dan fasilitas pengolahan baru agar produksi bisa dimulai lebih cepat. Australia turut berkomitmen untuk berbagi sebagian cadangan mineral kritisnya dengan sekutu seperti Inggris, dalam upaya memperkuat aliansi industri melawan dominasi China di pasar global

3. AS dan Australia kembangkan kerja sama AUKUS

Dilansir Al Jazeera, Trump dan Albanese juga membahas perkembangan aliansi pertahanan AUKUS, kemitraan militer yang melibatkan AS, Australia, dan Inggris sejak 2023. Salah satu fokusnya adalah rencana pembelian kapal selam bertenaga nuklir kelas Virginia senilai 239,4 miliar dolar AS (setara Rp3.965 triliun) yang dijadwalkan pada 2032.

Trump menyebut, penyesuaian rencana tersebut hanyalah detail kecil dan menambahkan bahwa AS kini bergerak dengan kecepatan penuh untuk melanjutkan pembangunan proyek pertahanan bersama itu.

Australia telah menyiapkan investasi sebesar 2 miliar dolar AS (setara Rp33,1 triliun) tahun ini guna meningkatkan galangan kapal selam AS. Negeri Kanguru itu juga akan memelihara kapal selam AS di pangkalan Angkatan Laut Samudra Hindia mulai 2027.

Meski pembicaraan resmi sempat tertunda selama 10 bulan sejak Trump kembali menjabat, Menteri Pertahanan Australia Richard Marles menilai kemitraan tersebut tetap berjalan sesuai rencana strategis awal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team