ilustrasi pajak (IDN Times/Aditya Pratama)
Dikutip dari situs web Ditjen Pajak, bangsa Indonesia telah mengenal pungutan sejenis pajak bahkan sebelum dijajah oleh bangsa Eropa dan Jepang. Masyarakat telah mengenal upeti, yaitu pungutan sejenis pajak yang bersifat memaksa. Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja sebagai persembahan.
"Karena pada masa itu raja dianggap sebagai wakil tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja," tulis Ditjen Pajak.
Pada masa itu beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram mengenal sistem pembebasan pajak terutama pajak atas kepemilikan tanah yang biasa disebut tanah perdikan. Umumnya, pembebasan tersebut diatur dalam beleid yang dituangkan baik dalam prasasti ataupun dicatat dalam kitab kesusastraan. Ketika masuk era kolonialisasi oleh Belanda dan bangsa Eropa pajak mulai dikenakan.
Dalam catatan sejarah badan otonomi Belanda yaitu VOC memungut pajak diantaranya Pajak Rumah, Pajak Usaha dan Pajak Kepala kepada pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya. Hanya saja, VOC tidak memungut pajak di wilayah kekuasaanya seperti Batavia, Maluku dan lainnya.
"Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels juga ada pemungutan pajak yaitu memungut pajak dari pintu gerbang (baik orang dan barang) dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah," tulis Ditjen Pajak.
Masuk ke era pendudukan Inggris, Gubernur Jenderal Raffles juga dikenal sistem pemungutan pajak yang dikenal dengan landrent stesel yang mana meniru sistem pengenaan pajak di Bengali, India yaitu pengenaan pajak atas sewa tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial. Itulah yang menjadi cikal bakal pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Pengenaan pajak landrent stesel ini berdasarkan System Rayatwari, yaitu pengenaan pajak secara langsung kepada para petani. Dalam hal ini tarif pajak adalah pendapatan rata-rata petani dalam setahun.
"Kenapa dikenakan kepada petani? Raffles beranggapan bahwa tanah yang dikelola oleh petani merupakan tanah para raja (sovereign) sedangkan para raja dianggap menyewa tanah tersebut kepada pemerintah kolonial. Dalam hal ini Inggris," tulis Ditjen Pajak.
Kemudian terdapat juga aturan mengenai pajak penghasilan pada era kolonial. Aturan pajak atas penghasilan dikenakan kepada pribumi maupun orang non-pribumi yang mendapat penghasilan di Hindia Belanda atau Indonesia saat ini. Aturan tersebut yang menerapkan adalah pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19.
Tidak banyak yang dikerjakan pada zaman penjajahan Jepang. Sebab, pada masa itu pemerintah Jepang lebih memfokuskan semua sumber daya untuk biaya perang. Oleh karenanya, sulit memisahkan mana yang merupakan pajak dengan rampasan pemerintah itu sendiri kepada rakyat.
Tapi, di masa itu rakyat selain dibebani dengan kewajiban Romusha juga dibebani dengan membayar pungutan yang dianggap sebagai pajak. Hal ini sangat memberatkan rakyat Indonesia kala itu meskipun hanya berlangsung selama kurang lebih 3,5 tahun.
"Di era selanjutnya ketika Indonesia sudah merdeka pengenaan pajak sudah lebih konservatif dan berkeadilan yang dituangkan dalam berbagai aturan yang sah diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia," tulis Ditjen Pajak.