Benarkah RI Kalah Telak dari AS? Cek Dulu Data Perdagangan 10 Tahun Terakhir

- Neraca dagang RI dengan AS dalam 10 tahun terakhir mencapai total surplus 111,46 miliar dolar AS atau setara Rp1.817 triliun.
- Indonesia masih mencetak keuntungan perdagangan dengan AS di tengah ancaman tarif resiprokal Trump, dengan surplus neraca perdagangan sebesar 158,8 juta dolar AS pada April 2025 dan 4,3 miliar dolar AS pada Mei 2025.
- Tiga komoditas utama diekspor Indonesia ke AS yang menyumbang surplus terbesar adalah mesin dan perlengkapan elektrik, produk alas kaki, dan pakaian rajutan.
Jakarta, IDN Times - Kritik tajam bermunculan ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan penurunan tarif resiprokal untuk Indonesia dari 32 persen jadi 19 persen. Indonesia dibilang kalah telak gara-gara demi tarif dipangkas Trump sampai 13 persen, RI harus membuka akses seluas-seluasnya buat produk AS yang masuk ke Indonesia.
Indonesia menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal terlalu banyak berkorban demi membujuk Trump. Sebab dia sudah menduga negosiasi antara Indonesia yang diwakili langsung Presiden Prabowo Subianto dengan Trump akan berjalan alot, dan ini diakui langsung oleh Prabowo. Butuh waktu 17 menit untuk membujuk orang nomor satu di AS itu.
"Kita tidak akan bisa mendapatkan penurunan tarif dari 32 persen, kecuali kita berkorban jauh lebih banyak," kata Faisal saat dihubungi IDN Times.
Trump sendiri terus meng-update hasil kesepakatan dengan Indonesia lewat akunnya di Truth Social. Sebelum kesepakatan terakhir ini dicapai, Trump yang melihat Indonesia sebagai penyumbang defisit bagi neraca perdagangannya sempat menulis surat untuk Prabowo.
"Merupakan Kehormatan Besar bagi saya untuk mengirimkan surat ini kepada Anda karena ini menunjukkan kekuatan dan komitmen Hubungan Perdagangan kita, dan fakta bahwa Amerika Serikat telah setuju untuk terus bekerja dengan Indonesia, meskipun memiliki Defisit Perdagangan yang signifikan dengan Negara Anda yang hebat," tulis Trump pada surat tertanggal 7 Juli 2025.
Perubahan tarif pada Selasa (15/7/2025) waktu setempat, disampaikan Trump dengan lagaknya yang penuh kemenangan.
Tapi, benarkah AS menang banyak? Betulkah pengorbanan RI enggak setara dengan apa yang didapat Indonesia? Apakah hanya Indonesia yang jadi korban?
Mari kita lihat fakta mengenai kondisi perdagangan AS dengan Indonesia selama 10 tahun terakhir.
1. Faktanya: neraca dagang RI dengan AS selama 10 tahun surplus terus loh

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), faktanya neraca perdagangan Indonesia dengan AS terus mencatatkan surplus dalam 10 tahun terakhir. Berikut rinciannya:
2015: Surplus 8,65 miliar dolar AS
2016: Surplus 8,84 miliar dolar AS
2017: Surplus 9,67 miliar dolar AS
2018: Surplus 8,26 miliar dolar AS
2019: Surplus 8,58 miliar dolar AS
2020: Surplus 10,04 miliar dolar AS
2021: Surplus 14,54 miliar dolar AS
2022: Surplus 16,57 miliar dolar AS
2023: Surplus 11,97 miliar dolar AS
2024: Surplus 14,34 miliar dolar AS.
Bahkan, menurut Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, AS merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia satu dekade terakhir, bersamaan dengan India dan Filipina.
"India, Filipina dan Amerika Serikat merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia dalam 10 tahun terakhir," kata Amalia pada 21 April 2025.
Melihat data di atas, Indonesia pernah mencetak rekor surplus neraca perdagangan dengan AS, yakni pada 2022 sebesar 16,57 miliar dolar AS.
Jika dirupiahkan dengan nilai tukar dolar AS hari ini yakni Rp16.302 per dolar AS, maka nilainya sebesar Rp270 triliun Hampir mendekati Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2024 provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) Rp286 triliun, dan Bali Rp298 triliun!
Nah, kalau ditotalkan neraca perdagangan RI dengan AS satu dekade terakhir, surplusnya tembus 111,46 miliar dolar AS, atau setara Rp1.817 triliun.
2. Begini kondisi neraca dagang RI dengan AS selama heboh ancaman tarif resiprokal Trump

Trump sendiri mendeklarasikan tarif resiprokal pada 2 April 2025 lalu. Nah, saat itu, Trump langsung mengumumkan pengenaan tarif 10 persen terhadap semua barang impor yang masuk ke Negeri Paman Sam.
Tak selesai sampai di situ, ada juga tambahan tarif timbal balik atau resiprokal yang dia kenakan ke beberapa negara, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif 32 persen. Trump bilang, barang AS yang masuk Indonesia dikenakan tarif 64 persen.
Setelah heboh-heboh tarif tersebut, bagaimana kondisi neraca dagang Indonesia dengan AS? Apakah langsung 'keok'? Mari kita lihat lagi faktanya.
Pada April 2025, BPS melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus sekitar 158,8 juta dolar AS.
Khususnya dengan AS, Indonesia mencatatkan nilai ekspor nonmigas senilai 2,08 miliar dolar AS, dan impor senilai 770,7 juta dolar AS. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia dengan AS pada April 2025 surplus 1,31 miliar dolar AS.
Pada Mei 2025, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar 4,3 miliar dolar AS. Neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan AS juga surplus sebesar 1,86 miliar dolar AS pada Mei 2025, di mana nilai ekspor mencapai 2,73 miliar dolar AS, dan impor 873,2 miliar dolar AS.
Melihat data itu, faktanya Indonesia masih mencetak keuntungan perdagangan dengan AS di tengah ancaman tarif resiprokal Trump.
3. Indonesia menang banyak di produk apa saja?

Pada periode Januari-Mei 2025, AS masuk dalam tiga negara penyumbang surplus nonmigas terbesar bagi neraca perdagangan Indonesia.
BPS melaporkkan, ada tiga komoditas utama yang diekspor Indonesia ke AS, dan menyumbang surplus terbesar. Pertama, ada mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya yang tercatat dengan kode HS 85, dengan surplus sebesar 1,65 miliar dolar AS.
Kedua, ada produk alas kaki dengan kode HS 64, surplus 1,06 miliar dolar AS. Lalu, pakaian dan aksesorinya (rajutan) dengan kode HS 61, surplus 1,02 miliar dolar AS.
Sepanjang 2024, ada 10 komoditas utama yang diekspor Indonesia ke AS, sebagai berikut:
Mesin dan peralatan listrik (HS:85) senilai 4,19 miliar dolar AS.
Pakaian rajut (HS:61) senilai 2,48 miliar dolar AS.
Alas kaki, pelindung kaki, dan produk sejenisnya (HS:64) senilai 2,39 miliar dolar AS.
Pakaian bukan rajut (HS:62) senilai 2,12 miliar dolar AS.
Lemak hewani, nabati, atau mikroba (HS:15) senilai 1,79 miliar dolar AS.
Karet dan barang dari karet (HS:40) senilai 1,69 miliar dolar AS.
Furnitur (HS:94) ke AS senilai 1,43 miliar dolar AS.
Ikan, krustasea, dan moluska (HS:03) senilai 1,11 miliar dolar AS.
Mesin industri lainnya seperti reaktor nuklir, ketel uap, dan peralatan mesin (HS:84) senilai 1,02 miliar dolar AS.
Olahan daging, ikan, krustasea, dan moluska (HS:16) 790 juta dolar AS.
4. Produk AS yang bakal dinaikkan impornya sebetulnya sudah dikenakan tarif rendah

Pada proposal penawaran ke AS, Indonesia berkomitmen meningkatkan impor produk dari AS senilai 34 miliar dolar AS atau sekitar Rp550,8 triliun.
Pembelian produk itu terdiri dari produk pertanian senilai 4,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp72,9 triliun, produk energi senilai 15 miliar dolar AS atau sekitar Rp243 triliun, pengadaan 50 unit pesawat Boeing senilai 3,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp51,8 triliun, penggunaan layanan perawatan pesawat hingga 2041 senilai 11,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp181,4 triliun.
Menurut Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, dalam proses negosiasi, semua negara melakukan hal yang sama. Untungnya, kata dia, Indonesia berhasil mendapatkan pemangkasan tarif dari Trump.
"Kami tadi disampaikan mengenai pembelian ini, itu, dan sebagainya, sebenarnya negara lain juga melakukan. Tapi alhamdulillah mungkin dengan posisi tawar yang sama, kita mendapatkan tarif yang lebih baik," ujar Budi dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Selain komitmen peningkatan impor barang dari AS, pemerintah juga memberikan penurunan tarif bea masuk mencapai nol persen atau mendekati nol persen untuk seluruh produk AS.
Menurut Budi, produk-produk yang diimpor dari AS selama ini, seperti kedelai dan gandum memang dikenakan tarif rendah sesuai ketentuan tarif most favored nation (MFN) yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Dalam proposal penawaran, Indonesia berkomitmen meningkatkan impor kedelai dengan volume 3,5 juta ton senilai 2,4 miliar dolar AS atau setara Rp38,8 triliun, bungkil kedelai dengan volue 3,8 juta ton senilai 1,52 miliar dolar AS atau setara Rp24,6 triliun, serta gandum dengan volume 2 juta ton senilai 500 juta dolar AS atau setara Rp8,1 triliun.
"Beberapa produk sebenarnya sekarang itu sudah ada yang nol persen. Ya jadi kalau kita impor gandum, kemudian kedelai itu juga sudah nol persen, dan kita tidak memproduksi, artinya memang kita membutuhkan produk itu," ucap Budi.
5. Jadi apa yang harus diwaspadai setelah RI kasih tawaran menggiurkan ke AS?

Meski begitu, proposal Indonesia yang diberikan kepada Trump menurut Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto dari fraksi PDIP, tetap akan memberikan dampak negatif jika tak diperhitungkan dengan baik. Darmadi mengatakan, negara lain yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia juga bisa menuntut bea masuk nol persen. Dia menyontohkan China, yang juga menjadi tujuan ekspor utama Indonesia.
"Misalnya China kan kita ekspor ke China juga besar, lebih besar dari Amerika. Nanti kalau China juga, saya mau ikut Amerika juga 0 persen dong," ujar Darmadi saat ditemui IDN Times, Rabu (16/7).
Apabila negara tujuan ekspor lainnya juga menuntut bea masuk nol persen, maka menurutnya neraca perdagangan Indonesia akan defisit. "Kalau sekarang negara-negara yang jadi tujuan ekspor kita itu banyak yang minta 0 persen untuk produk mereka. Nah itu tentu nanti terjadi defisit kan," ujar Darmadi.
Darmadi mengingatkan agar pemerintah memperhitungkan untung-ruginya dari tawaran yang diberikan kepada AS. Dia menekankan, kesepakatan yang diteken dengan AS harus memberi manfaat bagi perekonomian Indonesia.
"Jadi antara perdagangan Amerika dan Indonesia ini harus diukur. Seberapa besar pro and cons-nya gitu. Nah, itu yang harus dievaluasi ke Menteri Perdagangan, terutama juga ke Menteri Perekonomian. Apakah persyaratan yang ditawarkan Amerika itu banyak merugikan kita atau tidak?" tutur Darmadi.