Jakarta, IDN Times - Kritik tajam bermunculan ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan penurunan tarif resiprokal untuk Indonesia dari 32 persen jadi 19 persen. Indonesia dibilang kalah telak gara-gara demi tarif dipangkas Trump sampai 13 persen, RI harus membuka akses seluas-seluasnya buat produk AS yang masuk ke Indonesia.
Indonesia menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal terlalu banyak berkorban demi membujuk Trump. Sebab dia sudah menduga negosiasi antara Indonesia yang diwakili langsung Presiden Prabowo Subianto dengan Trump akan berjalan alot, dan ini diakui langsung oleh Prabowo. Butuh waktu 17 menit untuk membujuk orang nomor satu di AS itu. Kita tidak akan bisa untuk mendapatkan penurunan tarif dari 32 persen, kecuali kita berkorban jauh lebih banyak," kata Faisal saat dihubungi IDN Times.
Trump sendiri terus meng-update hasil kesepakatan dengan Indonesia lewat akunnya di Truth Social. Sebelum kesepakatan terakhir ini dicapai, Trump yang melihat Indonesia sebagai penyumbang defisit bagi neraca perdagangannya sempat menulis surat untuk Prabowo.
"Merupakan Kehormatan Besar bagi saya untuk mengirimkan surat ini kepada Anda karena ini menunjukkan kekuatan dan komitmen Hubungan Perdagangan kita, dan fakta bahwa Amerika Serikat telah setuju untuk terus bekerja dengan Indonesia, meskipun memiliki Defisit Perdagangan yang signifikan dengan Negara Anda yang hebat," tulis Trump pada surat tertanggal 7 Juli 2025.
Perubahan tarif pada Selasa (15/7/2025) waktu setempat, disampaikan Trump dengan lagaknya yang penuh kemenangan.
Benarkah AS menang banyak? Betulkan pengorbanan RI enggak setara dengan apa yang didapat Indonesia? Apakah hanya Indonesia yang jadi korban?
Mari kita lihat fakta mengenai kondisi perdagangan AS dengan Indonesia selama 10 tahun terakhir.