Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi emas logam mulia (LM) PT Aneka Tambang Tbk atau Antam. (IDN Times/Vadhia Lidyana)
Ilustrasi emas logam mulia (LM) PT Aneka Tambang Tbk atau Antam. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Intinya sih...

  • BI menjual 11 ton emas batangan untuk intervensi pasar valas

  • Rupiah mengalami pelemahan, BI butuh dana tunai dalam Dolar AS

  • Bank sentral di seluruh dunia aktif menambah cadangan emas, BI salah satunya

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN TimesBank Indonesia (BI) dikabarkan telah menjual cadangan emas batangan sebanyak 11 ton. Informasi ini terungkap dalam laporan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF).

Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, menduga langkah BI menjual emas batangan dilakukan untuk memperoleh dana segar guna melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah di pasar internasional. Terlebih, harga logam mulia saat ini tengah mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

“Berdasarkan informasi dari IMF, hingga September 2025, Bank Indonesia telah menjual emas batangan sebanyak 11 ton. Bisa jadi, Bank Indonesia akan terus melakukan intervensi di pasar internasional, yang tentunya membutuhkan dana dalam jumlah besar,” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).

1. BI secara rutin melakukan intervensi di pasar valas

Logo Bank Indonesia

Ibrahim menambahkan, BI secara rutin melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, terutama di tengah gejolak ekonomi global yang terjadi belakangan ini.

Menurutnya, informasi ini luput dari perhatian banyak media dan mengindikasikan adanya kebutuhan dana tunai dalam Dolar Amerika Serikat (AS) dalam jumlah besar.

“Bisa saja Bank Indonesia saat ini melakukan intervensi di pasar internasional membutuhkan dana yang cukup besar. Sehingga wajar lah harga logam mulia naik tinggi, kemudian cara satu-satunya untuk mendapatkan Dolar secara cash, cara satu-satunya adalah menjual emas batangan,” papar Ibrahim.

2. Rupiah alami pelemahan dalam beberapa waktu terakhir

Kurs rupiah terhadap dolar (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Menurutnya, langkah ini menjadi cara BI agar tetap memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi, terutama dalam menjaga stabilitas mata uang dan kondisi pasar. Intervensi ini tidak hanya bertujuan menstabilkan rupiah, tetapi juga kemungkinan diperlukan untuk membantu pemerintah dalam lelang obligasi.

Bila mengacu data Bloomberg, pada penutupan perdagangan hari ini, laju nilai tukar rupiah terpantau mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di level Rp16.583 per dolar AS, melemah 20 poin atau 0,12 persen dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelumnya di level Rp16.563 per dolar AS.

Berdasarkan data tradingeconomics, cadangan emas di Indonesia tetap tidak berubah pada 78,57 Ton pada kuartal pertama 2025 dari 78,57 ton pada kuartal keempat 2024. Cadangan Emas di Indonesia rata-rata 81,78 Ton dari tahun 2000 hingga 2025, mencapai puncak tertinggi sepanjang masa sebesar 96,45 Ton pada kuartal kedua 2000 dan terendah sebesar 73,09 Ton pada kuartal keempat 2006.

3. Bank sentral di berbagai negara rajin membeli emas

Ilustrasi kenaikan harga emas (freepik.com)

Sementara itu, seperti dilansir dari Kitco News, Analis Senior EMEA di World Gold Council, Krishan Gopaul, mengungkapkan bahwa bank-bank sentral di seluruh dunia masih aktif menambah cadangan logam mulia, meskipun harga emas terus meningkat.

“Bank-bank sentral menambahkan cadangan emas global bersih sebesar 15 ton pada bulan Agustus, berdasarkan data yang dilaporkan oleh IMF dan masing-masing bank sentral,” tulis Gopaul dalam pembaruan terbarunya dari World Gold Council (WGC).

Dalam laporannya, Gopaul menyebut Bank Indonesia merupakan salah satu dari sedikit bank sentral yang melakukan penjualan emas batangan dalam beberapa bulan terakhir. Volume penjualan oleh BI diperkirakan sedikitnya mencapai lebih dari 10 ton. Informasi tersebut diperoleh dari data IMF dan laporan resmi masing-masing otoritas moneter.

Tren penjualan ini, menurut Gopaul, terjadi di tengah lonjakan harga emas global yang terus menembus rekor sepanjang 2025. Kondisi ini membuat sebagian bank sentral bersikap lebih hati-hati dalam menambah cadangan mereka. Harga yang tinggi dianggap kurang ideal untuk pembelian baru, terutama dalam konteks pengelolaan cadangan devisa yang berorientasi pada stabilitas.

“Seperti yang telah kami catat sebelumnya, kenaikan harga emas yang mencetak beberapa rekor tertinggi sepanjang tahun ini membuat sejumlah bank sentral lebih berhati-hati dalam melakukan pembelian,” imbuhnya.

Meski demikian, Gopaul menambahkan harga emas yang tinggi juga dapat menjadi pemicu bagi sebagian bank sentral untuk melepas sebagian cadangannya. Penjualan tersebut bisa menjadi strategi likuidasi untuk mendukung kebijakan fiskal atau moneter domestik.

“Faktanya, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sejumlah bank sentral tetap aktif meningkatkan eksposur terhadap emas, terlepas dari pergerakan harganya,” jelasnya.

Editorial Team