ANTARA FOTO/Reuters/Carlo Allegri
Tahun 1978 Ahmad ini yang sekarang rambutnya sudah putih tamat ITB.
Saya bilang, “Mad, bagaimana? Kau mau pulang ke Makassar?” Dia bilang, “tidak.” Lalu saya tanya ,“Apa yang bisa kita kerja?”
Dia bilang, “Membangun teknologi, ekonomi dengan dasar teknologi."
Maka didirikanlah PT Bukaka. Namanya diambil dari kampung kami, kampung di mana saya lahir, bapak saya lahir, ibu saya lahir, beberapa adik saya lahir. Jadi Kalla itu nama bapak kami, Bukaka itu nama kampung kami, kadang orang berpikir itu nama Italia.
Mulailah kita menjalankan Bukaka, bagaimana pengembangan teknologi dalam bidang bisnis. Bagaimana mengembangkan produk dalam negeri.
Jadi kalau pemerintah berbicara bagaimana meningkatkan produk dalam negeri, 40 tahun lalu kita sudah melaksanakan itu.
Seperti digambarkan tadi, di samping bikin jembatan, bikin tower (Menara) semua hal yang berkaitan dengan industri teknologi. Bukaka punya pusat engineering dalam pengembangan teknologi, diresmikan oleh Pak Habibie pada waktu itu sebagai Menteri Ristek di Cileungsi, sebagai pusat teknologi. Sampai sekarang bekerja mendesain untuk kepentingan teknologi.
Salah satu produknya ialah Garbarata. Ini cerita panjang, bagaimana menjual sesuatu yang kita tidak tahu. Jadi ini ada rahasianya bagaimana menjual sebuah ide tapi kita tidak tahu bagaimana membikinnya tapi akhirnya bisa. Semua dengan riset dan teknologi, semangat dan percaya diri. Kami bangga akan hal tersebut, dan 100 persen kebanggaan kami adalah ke mana pun bapak-bapak pergi selalu melewati jembatan Bukaka. Tidak bisa naik pesawat tanpa lewat jembatan Bukaka.
Di Singapura 50 persen Garbarata-nya adalah buatan Bukaka, begitu juga di Bangkok. Kemudian di Jepang yang justru jadi tempat penjualan terbesar Garbarata. Bagaimana masuk ke negara yang teknologi tinggi justru kita kalahkan teknologinya.
Sekarang India, hampir semua bandara baru di India kalau bapak datang ke India itu Garbarata-nya made in Indonesia. Di Myanmar, di Laos, Timor Leste, sampai ke Cile semua buatan Cileungsi.
Tapi tidak mudah menjualnya sebenarnya. Ini agak ada emosi sebenarnya. Kisahnya, Cengkareng butuh Garbarata pada tahap kedua, butuh 30-40. Kita ikut tender tanpa tahu bagaimana bikinnya.
Nomor satu, harus mengalahkan Jepang dan Amerika tapi pemerintah tidak mau kasih kesempatan. Selalu alasannya harus ada pengalaman. Tentu tidak ada pengalaman karena tidak pernah dikasi pengalaman. Kemudian ditanya apakah tahu cara bikinnya? Yah tahu tapi belum pernah dikerja.
Kemudian saya datang ke menteri perhubungan, Pak Azwar Anas. Pak Azwar Anas itu masuk kantor jam setengah tujuh, jam enam saya sudah datang ke kantornya berdiri dekat lift.
Begitu dia datang dan masuk lift saya juga ikut masuk dan bilang mau ketemu. Pak Azwar Anas itu kayak ustaz, setengah jam kita bicara agama. Dia ceramahi saya tentang agama. Kita diskusi tentang agama.
Baru terakhir dia tanya, “Apa lagi?”
Saya bilang, “Jadi begini, kita ingin menang pembuatan Garbarata tapi tender tidak bisa kita dapat.” Dia bilang, waduh bagaimana caranya yah. Tapi nanti saya bicarakan dengan presiden.
Kemudian saya datang lagi dapat info bahwa Cendana (sebutan tempat tinggal pribadi Presiden Soeharto) sudah arahkan yang dapat itu nomor dua perusahaan Jepang yang agennya Bambang Trihatmodjo (putra Soeharto). Tapi kami tidak menyerah, kalau begitu kita harus bicara dengan Bambang Tri.
Datanglah saya dengan Ahmad bertemu Bambang Tr, dia dengan Peter F. Gontha. Pertanyaannya selalu sama. “Bukaka punya pengalaman?”
“Yaa.., tentu belum ada tapi bisa bikin." Kalau tidak bisa tentu kalah kan? Jadi bilang saja bisa.
Diskusi, nanti kualitasnya rendah kalau buatan Indonesia, tapi kita janji akan bikin baik. Terakhir, saya bilang ke Bambang Tri, “Mas Bambang, saya ini orang Bugis, orang Bugis itu lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan."
Saya ingat betul Peter Gontha langsung berdiri, “Maksud saudara apa?”
Saya bilang, “Tidak ada maksud apa-apa, hanya bilang begitu." Terus Bambang Tri suruh duduk anak buahnya, stafnya.
Pertanyaan Bambang Tri cukup sederhana, “Kak Jusuf serius ndak?”
Saya jawab, “Serius.” Langsung dia bilang, “Ambil aja.” Langsung saya ajak jabat tangan. Dan tanya, “Ikhlas?” Dia jawab, “Ikhlas”.
Saya langsung bilang ke Ahmad, “Ayo kita pergi, nanti berubah lagi pikirannya."
Saya bilang terima kasih ya. Sampai saat ini kita bersahabat. Karena takut berdarah itu. Tanya lagi, kenapa Pak berdarah-darah?
“Yaa.., karena kalau saya tidak dapat proyek itu anak buah tidak kerja dan dia kelaparan. Lebih baik saya yang berdarah daripada mereka kelaparan.”
Persoalan kedua kemudian timbul bagaimana membuatnya? Ini Ahmad punya urusan. Jadi mulai riset dan cari tahu di mana orang pasang Garbarata di Asia ini, ternyata ada di Bangkok.
Jadi kami kirim orang ke Bangkok, tim engineer-nya pergi lihat bagaimana Garbarata itu dipasang, foto kiri-kanan, cari-cari dokumen. Orang Thailand juga kadang bisa diajak kerja sama, minta dokumennya kemudian foto copy. Walhasil selesai rencananya, bikin percobaan.
Saya bilang, hati hati Mad. “Hati-hati kalau kau salah bikin Garbarata bisa tabrak itu pesawat kita bisa ganti rugi nanti." Jadi dibikinlah sebaik-baiknya. Jadi sejak itu, kita memproduksi Garbarata. Dan sekarang 100 persen Garbarata di Indonesia adalah buatan Bukaka.
Oh yah yang pada akhirnya kasih nama proyek Garbarata itu Pak Harto. Seperti yang saya katakan tadi, yang kami gagal masuk hanya di Timur Tengah. Walaupun kita bilang “Assalamualaikum” kita sama-sama negara Islam dia tidak peduli. Mereka selalu pilih buatan Eropa-Jerman.
Di dunia ini hanya ada enam pabrik Garbarata yang terbanyak produksinya justru Bukaka. Lebih 1.000 sekarang produksi, dan itulah kebanggaan produksi karena ke mana pun Anda pergi pasti ketemu dengan buatan Bukaka. Jadi ini adalah produksi teknologi yang paling di depan, maksudnya ketika anda tiba di Bandara, anda tiba di suatu negeri, anda sudah lewat jembatan Bukaka, nama kampung saya.
Bagaimana jual ke luar negeri? Inilah kehebatan Fadel Muhammad. Dia sampai lobi ke Mahathir, agar Malaysia berminat. Mahathir lain lagi, ketika sudah teken, dia ke Paris, sudah kerja kita, dia lihat Garbarata itu pakai kaca, dia telepon suruh datang ke Kuala Lumpur dan minta pakai kaca. “Waduh sudah dibikin, jadi harus dirombak lagi."
Di India lain lagi, kita sudah hampir 200 produk kita di India hampir semua airport baru pakai buatan Bukaka. Biasalah orang India, menteri lain partai lain. Kadang berbeda dengan perdana menteri, tidak pernah cocok. Enam bulan tender kita nomor satu tidak dapat pula itu. Suatu waktu saya ke India diundang mereka untuk memperingati hari lahir Nehru. Saya minta ketemu perdana menterinya, Dr. Manmohan Singh, saya ketemu dia saya bilang, “Yang Mulia di Indonesia banyak perusahaan India yang berhasil, investasinya India dilayani dengan baik.”
Dia langsung berterima kasih. Saya lanjut bilang ke dia, “Tapi di India ini perusahaan Indonesia sudah enam bulan menang tender tidak diapa-apakan.”
Dia tanya, ”Di mana itu?”
Saya bilang di kementerian Perhubungan.
Dia panggil sekretarisnya untuk menelepon, dia bahasa Hindi dan saya tidak mengerti. Kesimpulannya dia bilang, “Ok next week kita bereskan."
Jadi memang harus ada campur tangan pemerintah, bukan karena saya orang Bukaka yang kebetulan sedang menjabat di pemerintah tapi siapa pun itu dia harus bantu. Baru ekspor bisa jalan.
Kemudian ke Bangladesh, jadi hampir semua Asia itu beli dari kita, kecuali Timur Tengah. Tapi Insya Allah kita akan segera dapat karena kita sudah ada patennya. Itulah perjuangan dari sesuatu yang kita tidak tahu menjadi tahu.
Jadi ini menjual sesuatu yang kita tidak tahu bikinnya. Ditanya ada pengalaman, tidak ada pengalaman selalu gagal. Bagaimana ada pengalaman kalau bapak tidak kasih pengalaman. Akhirnya kita coba bikin sendiri. Sederhana saja coba beli satu dan rombak apa isinya.
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Soal pumping oil, reserved technology
Itu barang, namanya reverse technology. Sama dengan sekarang hampir 60 persen pumping oil di Indonesia adalah buatan Bukaka.
Terima kasih Pak Ari (Ari Hernanto Soemarno) waktu Dirut Pertamina (2006-2009). Jadi yang di Rokan Hulu, Duri semua yang 24 jam pumping oil, atau pompa angguk, buatan Bukaka.
Itulah sesuatu produk-produk yang mengalami masalah yang harus kita hadapi. Sekarang banyak produk kita sudah agak sulit. Karena China kadang- kadang jual lebih murah. Tapi China termasuk pembeli Garbarata, belinya cuma tiga. Saya pikir dia bongkar itu barang baru dia tiru. Dia belinya cuma tiga dipasangnya di Wuhan tempat awal mula Covid-19 itu. Sekarang sudah tidak pernah beli lagi, berarti sudah produksi sendiri. Jadi teknologi di dunia ini saling mencuri. Kita contoh yang lain, dia contoh lagi sama kita. Berputar saja teknologi itu, kita harus kembangkan seperti itu, tapi harus lebih baik.
Produksi harus jalan, sayangnya menteri PU tidak datang. Dia bilang ke saya semalam dia mau ke Malang. Kalau jual mobil itu kan dicicil. Sekarang PU perlu jembatan. Hampir semua jembatan yang Jawa ini yang sudah tua-tua harus diganti. Bicaralah menteri PU, bagaimana itu? Bisa bayar belakangan tidak? Terima kasih kepada perbankan. Akhirnya, kesimpulannya bikin jembatan dicicil 10 tahun. Jadi sekarang ini bukan motor sama mobil yang dicicil, jembatan pun kita cicil. Tentunya ini jasa perbankan. Jadi lain kali kalau bapak mau bikin jembatan bisa dicicil. Itu semua jalan untuk meningkatkan transportasi.
Kemudian ke depan, ini (Kalla) jalan di Timur dan Bukaka di Barat kita satukan dalam cara kerja untuk membangun masa depan. Listrik yang bersih, PLTA. Idenya adalah akibat kegagalan investasi terbesar sebelumnya ialah telekomunikasi di Indonesia Timur, KSO (Kerjasama operasi) dengan Telkom.
Kira-kira investasinya 300-400 juta dolar AS. Diwajibkan oleh Telkom kerja sama dengan perusahaan komunikasi yang berpengalaman, kita pilih Singtel. Kemudian tender, kami memilih Indonesia Timur, tidak ada yang mau itu, hanya kita sendirian.
Tender dua kali tidak ada yang mau tetap kita sendirian, mungkin dipikirnya susah. Saya bertekad untuk selalu memajukan Indonesia Timur. Akhirnya kita kerjakan, pasang kabel di Sulawesi, ke Papua, Timor- Timur, di Bali.
“Setelah jadi, saya mengikuti seminar di ITB. Ada seorang profesor dari Amerika mengatakan, “Nanti semua transaksi lewat di kantong.” Dalam hati saya berpikir, “Apa maksudnya profesor ini?” Saya tidak percaya waktu itu, mana mungkin bisa lewat kantong. Betul saja, lima tahun kemudian muncullah hp telepon kabel mati. Langsung drop penjualan.”
Datang Sandi (Sandiaga Uno) dan Edwin (Edwin Soeryadjaya) minta jual saja. Kami yang jualkan. Karena masih bisa untung. Saya bilang, "Saya ini orang Indonesia Timur, kalau saya tinggalkan bisnis saya di Indonesia Timur orang bilang apa?"
Minta maaf, saya tetap jalan ternyata tidak tahan, dua tahun jual kembali ke Telkom untungnya sedikit sekali. Itulah suatu hal, kesalahannya karena tidak percaya secepat itu teknologi bisa berubah. Untung masih ada untungnya sedikit.