China Andalkan Mineral Langka untuk Cekik Amerika Serikat

Intinya sih...
- Pemerintah China menerapkan tarif balasan 34 persen terhadap produk AS sebagai reaksi atas tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump.
- China membatasi ekspor tujuh jenis mineral tanah jarang krusial bagi industri teknologi global, dengan pengaruh besar terhadap rantai pasok dunia.
- Ketergantungan negara lain pada ekspor mineral dari China menguatkan posisi Beijing dalam negosiasi dagang, memicu kegelisahan pasar dan pemerintah negara lain.
Jakarta, IDN Times – Pemerintah China resmi mengumumkan tarif balasan sebesar 34 persen untuk seluruh produk asal Amerika Serikat (AS), mulai berlaku 10 April 2025. Langkah ini diambil sebagai reaksi atas tarif serupa yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump terhadap produk-produk asal China.
Tak hanya itu, Beijing juga menerapkan pembatasan ekspor terhadap sejumlah mineral tanah jarang yang krusial bagi industri teknologi global. Ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia ini langsung mengguncang pasar global.
1. Ekspor mineral langka diperketat, dunia kena imbasnya
China mengumumkan pembatasan ekspor atas tujuh jenis mineral tanah jarang, termasuk samarium, gadolinium, terbium, dysprosium, lutetium, scandium, dan yttrium. Kebijakan ini diumumkan oleh Kementerian Perdagangan China, bersamaan dengan pengenaan tarif impor baru terhadap barang-barang asal AS.
Mineral tersebut digunakan dalam berbagai sektor strategis mulai dari pertahanan, manufaktur pesawat, teknologi radar, hingga perangkat elektronik canggih. Pemerintah Chinamenyatakan bahwa kebijakan ini akan berdampak secara global, bukan hanya kepada AS.
“Samarium digunakan dalam industri laser dan reaktor nuklir, gadolinium untuk mesin MRI, terbium dalam sensor elektronik, dan dysprosium sebagai bagian dari batang kendali di pembangkit nuklir,” tulis The Register.
Sementara itu, lutetium dan scandium banyak dipakai untuk keperluan riset, dan yttrium digunakan untuk memperkuat paduan baja dan aluminium.
2. China pegang 95 persen pasar, AS sangat bergantung
Dengan menguasai sekitar 95 persen dari total produksi global mineral tanah jarang, China memegang posisi dominan yang memungkinkan pengaruh besar terhadap rantai pasok dunia. Ketergantungan negara lain terhadap ekspor mineral dari China menjadikan kebijakan ini sebagai alat strategis dalam tekanan dagang.
Laporan United States International Trade Commission tahun 2020 mencatat bahwa 78 persen pasokan tanah jarang di AS bergantung pada impor dari China. Situasi ini memperkuat posisi Beijing dalam negosiasi, terutama di tengah meningkatnya tensi dagang dengan Washington.
Beijing sendiri bukan pertama kali menggunakan kontrol ekspor sebagai instrumen tekanan. Pada 2023, pemerintah China sempat membatasi ekspor gallium dan germanium, dua bahan penting untuk pembuatan semikonduktor, yang kemudian memicu kekhawatiran global atas stabilitas pasokan teknologi tinggi.
3. Tekanan global naik, pasar dan sekutu AS gelisah
Langkah pembatasan dari China langsung memicu kegelisahan pasar dan pemerintah negara-negara lain. Selain AS, banyak negara maju yang juga bergantung pada pasokan tanah jarang dari China untuk industri strategisnya, mulai dari energi hingga pertahanan.
Pasar saham global merespons negatif. Indeks Dow Jones Industrial anjlok 2.231 poin, sedangkan NASDAQ turun 962 poin. Bursa di Asia dan Eropa turut terkoreksi seiring kekhawatiran terhadap gangguan suplai dan meningkatnya proteksionisme dagang.
Dilansir dari CBS News, Minggu (6/4/2025), Inggris yang terkena tarif dasar 10 persen dari AS pekan ini, mulai membuka opsi balasan. Negara-negara sekutu Washington menyatakan kesiapan untuk bernegosiasi, namun tetap menyiapkan langkah-langkah jika tensi tidak mereda. Beijing dan mitra dagangnya berharap kesepakatan dagang baru bisa segera dicapai demi stabilitas ekonomi global.