Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Jakarta, IDN Times - Beragam kebijakan telah dijalankan oleh pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Sejak memimpin Indonesia untuk periode kedua kalinya pada 2019 silam, Jokowi dan menteri-menterinya telah mengeluarkan kebijakan yang mengundang pro dan kontra.

Ada sejumlah kebijakan yang jadi sorotan publik atau bahkan menimbulkan kontroversi sejak 2019 hingga awal 2022 ini. Beberapa kebijakan besar dikritik karena terlihat plin-plan dan sebagian malah berakhir dengan kesan 'pemerintah memihak para pengusaha'.

Di awal  persoalan tes PCR, ekspor batu bara, dan minyak goreng. Berikut ini rekapitulasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap pro pengusaha tersebut.

1. Tes PCR

Ilustrasi Tes Usap/PCR Test. IDN Times/Hana Adi Perdana

Pada akhir 2019 dan jelang 2020, pandemik COVID-19 menyerang dunia. Indonesia jadi satu dari sekian banyak negara yang terkena pandemik COVID-19. Sama seperti negara lainnya yang terkena pandemik pertama kalinya, berbagai kebijakan dibuat pemerintah Indonesia untuk bisa mengurangi dampak dari pandemik COVID-19 agar tak membebani rakyat.

Seiring waktu, pemerintah mulai memberlakukan tes PCR sebagai salah satu syarat bagi masyarakat sebelum beraktivitas atau bersosialisasi. Tes PCR tersebut juga dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk melacak penyebaran COVID-19 ketika ada orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 dari tes tersebut.

Utamanya, pemerintah menerapkan kewajiban tes PCR kepada masyarakat sebelum bepergian menggunakan transportasi laut, darat, dan udara. Namun, hal itu menjadi dilema ketika tes PCR dipatok dengan harga luar biasa mahal.

Setelah kritik panjang masyarakat menyoal mahalnya PCR, pada Oktober 2020, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menetapkan biaya pemeriksaan tes PCR untuk pengujian COVID-19 maksimal Rp900 ribu di seluruh Indonesia.

"Kami dari Kementerian Kesehatan dan BPKP menyetujui ada kesepakatan bersama terkait batas tertinggi harga pemeriksaan swab RT-PCR secara mandiri sebesar Rp900 ribu," kata Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir dilansir dari ANTARA, Jumat (2/10/2020).

Kadir mengungkapkan, harga batas atas biaya pemeriksaan PCR tersebut hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang akan melakukan tes secara mandiri. Harga tersebut tidak berlaku bagi upaya pemeriksaan tes PCR yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan pelacakan kontak erat pasien COVID-19 dalam rangka pencegahan dan penanganan virus corona.

Kemudian, pada Agustus 2021, Presiden Jokowi mengubah batasan harga test PCR COVID-19. Jokowi mengatakan harga maksimal dari tes PCR virus corona adalah Rp550 ribu.

"Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp450 ribu sampai Rp550 ribu," kata Jokowi dalam keterangannya melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/8/2021).

Kendati harganya turun, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Achmad Baidowi kala itu masih mengkritik pemerintah karena harga tersebut masih lebih tinggi dibandingkan negara lain.

"Misalnya di Uzbekistan, harga PCR sekitar Rp350 ribu itu pun yang 6 jam. Kalau yang 24 jam lebih murah," ujarnya dalam siaran tertulis, Senin (16/8/2021).

Pemerintah pun kemudian buka suara perihal mahalnya harga tes PCR kala itu. Juru Bicara COVID-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan mahalnya harga PCR di Indonesia karena sebagian besar bahan baku yang digunakan merupakan impor.

"Sebagian besar reagen PCR masih produk dari luar negeri," ujar Nadia saat dikonfirmasi IDN Times, Senin (16/8/2021).

Kemenkes pun kemudian menetapkan harga acuan tertinggi Swab Real Time PCR (RT-PCR) untuk seluruh wilayah di Indonesia. Harga ini mulai berlaku per 17 Agustus 2021 sesuai dengan edaran resmi yang akan dikeluarkan Kemenkes.

"Bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan Real Time PCR diturunkan menjadi Rp495.000 untuk daerah pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp525.000 untuk daerah di luar pulau Jawa dan Bali," ujar Dirjen Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yankes) Kemenkes, Abdul Kadir dalam keterangan pers hari ini, Senin (16/8/2021).

Hasil pemeriksaan RT-PCR dengan harga yang baru ini diminta Kemenkes untuk dikeluarkan dengan durasi maksimal 1x24 jam dari pengambilan swab.

Selang sebulan kemudian atau tepatnya 27 Oktober 2021, pemerintah kembali menurunkan harga tes PCR menjadi Rp300 ribu untuk daerah luar Jawa dan Bali serta Rp275 ribu untuk di Jawa dan Bali.

"Kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan terkait PCR diturunkan menjadi Rp275 ribu untuk daerah Pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa dan Bali," Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir saat konferensi pers virtual di YouTube Kementerian Kesehatan RI, Rabu (27/10/2021).

Melihat bahwa harga tes PCR ternyata dengan mudah bisa ditekan hingga Rp300 ribu, publik bersyukur sekaligus keheranan. Mengingat, pada awal pandemik harga tes tersebut mencapai jutaan rupiah. Tudingan pro pengusaha dan pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis tes PCR pun disematkan publik kepada pemerintah. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan yang terdiri dari ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru menilai pemerintah bisa memberikan layanan pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) secara gratis.

Berdasarkan anggaran penanganan COVID-19 sektor kesehatan 2020, diketahui realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober, dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan COVID-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.

"Dari kondisi tersebut sebenarnya pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat," sebut Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran tertulis yang diterima IDN Times, Minggu (31/10/2021).

Koalisi menilai terdapat dua permasalahan dari kondisi di atas. Pertama, koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah atau perusahaan, akan memasuki masa kedaluwarsa.

"Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi," sebut Koalisi Masyarakat Sipil.

2. Batu bara

Editorial Team

Tonton lebih seru di