Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ngobrol Seru Konflik Iran-Israel dan Dampaknya ke Ekonomi RI. (dok. YouTube IDN Times)
Ngobrol Seru Konflik Iran-Israel dan Dampaknya ke Ekonomi RI. (dok. YouTube IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Serangan Iran terhadap Israel pada Sabtu, (13/4/2024) menggemparkan dunia. Serangan itu dikhawatirkan meningkatkan eskalasi antara kedua negara tersebut.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) sekaligus Mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro membeberkan, serangan itu bisa berdampak pada perekonomian Indonesia, salah satunya kinerja neraca pembayaran dan neraca perdagangan yang mencerminkan keseimbangan eksternal.

“Satu, keseimbangan eksternal dengan neraca pembayaran, kedua terkait inflasi, dan terakhir pertumbuhan ekonomi,” kata Bambang Ngobrol Seru 'Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI' oleh Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter x IDN Times, Senin (15/4/2024).

1. Surplus neraca perdagangan Indonesia berpotensi menurun

Ilustrasi neraca perdagangan. (IDN Times/Mardya Shakti)

Mantan Menteri Riset dan Teknologi itu pun mengatakan, keseimbangan eksternal dilihat dari neraca pembayaran, yang merupakan gabungan dari kinerja neraca perdagangan barang dan jasa.

Bambang menyoroti neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami surplus selama lebih dari tiga tahun. Namun, saat ini surplusnya sudah menurun, tak lagi menyentuh 1 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca perdagangan pada Februari 2024 hanya 870 juta dolar AS.

“Jadi ini sebenarnya sudah lampu kuning. Jangan-jangan kita tidak bisa lagi melanjutkan surplus neraca perdagangan,” ujar Bambang.

2. Distribusi barang terganggu

ilustrasi ekspor-impor (IDN Times/Aditya Pratama)

Dia mengatakan, serangan Iran ke Israel akan mengganggu distribusi di Laut Merah, Terusan Suez, Selat Hormuz, hingga Laut India yang merupakan jalur perdagangan dunia. Hal itu bisa berdampak pada proses distribusi barang, dan meningkatkan harga-harga.

“Kinerja kita secara eksternal akan dilihat dari keseimbangan di current account (neraca berjalan) yang merupakan gabungan dari neraca perdagangan barang dan jasa. Nah kalau melihat kondisi saat ini agak sulit kita melihat neraca perdagangan barang kita akan membaik,” tutur Bambang.

3. Booming harga komoditas sudah berakhir

Ilustrasi ekspor impor (IDN Times/Arief Rahmat)

Bambang mengatakan, surplus neraca perdagangan Indonesia sempat terbantu oleh lonjakan harga komoditas atau commodity booming. Hal itu terjadi pada awal pandemik COVID-19.

Dengan berakhirnya commodity booming, ditambah ada serangan Iran ke Israel, maka Bambang menilai surplus neraca perdagangan Indonesia bisa menurun lagi. “Dan kemudian yang sudah pasti era commodity booming sudah berakhir,” ujar Bambang.

Dia mengatakan, pelemahan nilai tukar uang, seperti rupiah dianggap akan mendongkrak nilai ekspor Indonesia. Namun, saat ini ekspor Indonesia masih didominasi komoditas, bukan produk manufaktur. Sehingga, dampaknya pada perekonomian Indonesia tak akan masif.

“Biasanya international trade akan mengatakan bahwa kita punya currency yang lemah, itu bagus untuk ekspor. Tapi masalahnya ekspor kita masih didominasi oleh komoditas, bukan oleh produk manufaktur. Sehingga melemahnya rupiah terhadap dolar AS tidak terlalu membantu dalam konteks daya saing, terutama untuk produk manufaktur,” ucap Bambang.

Editorial Team