Tambang nikel PT Makmur Lestari Primatama di wilayah Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. (dok. MLP)
Faisal menyebut ekspor nikel berbeda dengan komoditas sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar, ditambah pungutan berupa bea sawit.
"Untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," ujarnya.
Ketika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, kata dia, perusahaan smelter nikel justru bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
Jadi, dia menuding pemerintah tidak mendapatkan apapun dari besarnya laba atau keuntungan yang dinikmati perusahaan smelter nikel.
"Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuanganlah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," sambungnya.
Perusahaan smelter, tambah Faisal juga tidak membayar royalti. Sebab, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel, yang mana hampir semuanya adalah pengusaha nasional.
"Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor," tambahnya.