1. Pasal 42 tentang TKA
Dalam Pasal 42 RUU Cipta Kerja, tenaga kerja asing (TKA) diperbolehkan bekerja di Indonesia, tanpa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dari pemerintah pusat. Kemudahan RPTKA ini bagi TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu.
Pada Ayat (1) disebutkan, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, pada Ayat (3) disebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) , kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
2. Pasal 59 tentang pekerja kontrak (PKWT)
Salah satu pasal lain yang diperdebatkan adalah terkait sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Poin yang sempat dipermasalahkan oleh buruh penghapusan Pasal 59 yang membahas batas waktu pemberlakuan perjanjian itu.
Jika aturan itu dihapus, dikhawatirkan status pekerja kontrak dapat terus diperpanjang tanpa batas. Penghapusan pasal ini dikritik keras karena pekerja berpotensi besar dikontrak seumur hidup alias minim mendapat jaminan sebagai karyawan tetap. Namun, akhirnya Pasal 59 tidak jadi dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 59 disebutkan:
- Ayat (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. - Ayat (2) berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. - Ayat (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
- Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 77 dan 78 tentang waktu kerja
Sebelumnya pada pembahasan draf RUU Cipta Kerja, pihak buruh mengeluhkan Pasal 77A berkaitan dengan tambahan jam kerja tergantung pada kebijakan perusahaan. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Tidak ada aturan tentang jumlah hari kerja.
Namun pasal ini akhirnya dikembalikan seperti aturan pada UU Ketenagakerjaan. Pada Pasal 77 Ayat (2) disebutkan, waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Namun Pasal 78 tentang pengaturan waktu lembur yang dikeluhkan buruh tidak diubah hingga RUU disahkan. Pada Pasal 78 Ayat (1) bagian b disebutkan, jam lembur paling banyak 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam satu minggu. Sebelumnya dalam UU Ketengakerjaan maksimal jam lembur adalah 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam satu minggu.
4. Pasal 88 tentang upah
Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum sektoral akan dihilangkan tapi DPR dan pemerintah sepakat tidak akan menghapus ketentuan terkait upah minimum provinsi maupun upah minimum kabupaten/kota. Bahkan, upah minimum tidak dapat ditangguhkan, tidak seperti dalam UU Ketenagakerjaan selama ini.
Pada Pasal 88E Ayat (1) disebutkan, upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan pada Pasal 88 E Ayat (2) ditegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Dengan begitu, tidak ada lagi buruh yang boleh diberi gaji di bawah upah minimum. Kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas sebagaimana diatur dalam Pasal 88D Ayat (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.
5. Pasal 156 terkait pesangon
Pasal ini mengatur tentang pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima," bunyi ayat (1) pasal tersebut.
Pasal ini dipermasalahkan lantaran aturan nilai maksimal pesangon yang diberikan mengalami penurunan dari sebelumnya sebanyak 32 kali upah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003, menjadi hanya 25 kali di UU Cipta Kerja.
Pembayarannya terdiri dari, pesangon setara 19 kali upah menjadi beban perusahaan dan 6 lainnya diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Pembayaran nilai maksimal 19 kali upah tersebut tercantum pada Pasal 156. Pada Ayat (2) disebutkan bahwa uang pesangon untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih ialah 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih ialah 10 (sepuluh) bulan upah.
Berikut link unduh untuk draf UU Cipta Kerja yang diterima IDN Times dari Baleg DPR RI.